Jumat, 18 November 2011

Wahdatul Wujud (pemikiran Ibnu 'arabi)

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
            Di dunia tasawuf dikenal banyak memiliki konsep tentang Al-Wahdah, seperti Al-Wahdat Al-Ummah, Al-Wahdat Al-Wujud, Al-Wahdat Al-Adyan, dan sebagainya. Mengutip dari pendapatntnya Ahmad Amin, konsep ini berawal dari penjabaran formulasi konsep tauhid “La ilaha illah”, yang mempunyai implikasi sangat dalam bagi kehidupan umat tauhid. Sebab konsep ini merangkum secara universal bagaimana seharusnya manusia memandang diri, manusia dan alam dalam kaitanya dengan yang Mutlak (Tuhan). Semuanya dipandang sebagai wujud dari karya-Nya dan fenomena kebesaran-Nya. Bagi seoarng sufi, tidak ada apa-apa, dan tidak mencinta suatu apapun, kecuali Dia, bahkan tidak memandang dirinya dan manusia pada umumnya kecuali sebagai hamba-Nya. Dan Dia telah menurunkan petunjuk kepada umat manusia, berupa wahyu yang disampaikan melalui para Rasul dan Nabi-Nya. Sehingga pada umumnya, ajaran tasawuf  memandang bahwa keaneragaman agama di dunia hanya sekedar bentuknya, sedang hakikatnya sama, karena semuanya mempunyai sumber segala sesuatu. Tuhan pencipta alam semesta

PEMBAHASAN
            Tasawuf atau sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah wafat. Ketika beliau masih hidup belum ada istilah ini, yang ada hanya sebutan sahabat, bagi orang Islam yang hidup pada masa Nabi dan sesudah itu generasi Islam disebut Tabi’in. dan Tabi’in at-Tabi’in dan seterusnya. Menurut  Hakim Hasan dalam At-Thashawwuf fi Syi’ri Al-‘Arab istilah tasawuf baru terdengar pada pertengahan abad kedua hijriyah, dan menurut Nicholson dalam bukunya At-Tashawwuf Al-Islami wa Tarkhihi istilah tasawuf muncul pada pertengahan abad ketiga hijriyah.
            Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa arab, Tashawwafa, yatashawwafu, tashawwufun. ‘Ulama berbeda pendapat dari mana asal-usulnya. Ada yang mengatakan dari kata “Shuf” (bulu domba), “Shaf” (barisan), “Shafa” (jernih) dan dari kata “Shuffah” (emper masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat Nabi SAW). Pemikiran masing-masing pihak itu dilatarbelakangi obsesinya dan fenomena yang ada pada diri sufi, dan masih banyak asal-usul istilah dari kata yang merujuk pada kata tasawwuf.[1]
            Secara terminology-pun banyak dijumpai definisi yang berbeda-beda, yang oleh Ibrahim Basyuni diklasifikasikan menjadi tiga, yakni, Al-Bidayah, Al-Mujahadah dan Al-Madzaqat. Dari sekian definisi yang ada dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah moralitas Islam yang pembinaanya melalui proses tertentu (mujahadah dan riyadloh).
            Sufisme adalah bagian dari Syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah satu kerangka dari ajaran Islam. Dua sebelumnya adalah Iman dan Islam. Oleh karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka Islam. Al-Qusyairy mengatakan “seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (karomah), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat sebagaimana dia menjalankan perintah-Nya, meninggalkan larangan dan menjaga hukum yang ada”[2]
            Ibnu Arabi sangat sering dikenali sebagai penerus pertama doktrin wahdat al-wujud “Kesatuan Tuhan” atau “Kesatuan Eksistensi”. Sesungguhnya karya yang khusus menampilkan sudut pandangnya kebanyakan bukan isi dari tuilisan-tulisanya, namun karena perhatian para pengikutnya dan arah pemikiran Islam yang berkembang setelah dirinya.
            Istilah wujud secara tipikal diterjemahkan dalm bahasa inggris denga Being atau Existence, dan ini lazim seperti keadilan yang sering digunakan dalam Filsafat Islam maupun Kalam (Teologi Dogmatis). Namun, pengertian dasar dari istilah tersebut adalah “menemukan” (finding) atau “ditemukan” (to be Found), kata wujud merupakan bentuk masdar dari kata wajada (menemukan) atau wujida (ditemukan) yang berasal dari kata WAJADA.
            Pendeknya, tradisi Islam mutahir benar ketika menisbatkan asal-muasal doktrin Wahdah al-wujud kepada Ibnu Arabi, karena ia menegaskan bahwa wujud dalam penegrtian yang sebenarnya adalah realitas tunggal dan tidak bisa menjadi dua wujud. Disini ia mengikuti jejak-jejak  sejumlah pemikir yang lebih awal, seperti Al-Ghozali, yang mengomentari tentang ke-Esa-an Tuhan (Tauhid)- seperti “Tidak ada Tuhan selain Tuhan” bererti “Tidak ada Wujud selain Tuhan”. Namun, Ibnu Arabi menekankan sebagian besar dari tulisan-tulisanya untuk menjelaskan realitas jamak (katsrah) di dalam kesatuan Tuhan. Hal ini akan menjadi kesalahan besar jika menyangka bahwa ia secara sederhana menegaskan kesatuan wujud, sementara disisi lain menisbatkan kejamakan kosmos pada ilusi atau pada kedunguan manusia. Menurut pandangan Ibnu Arabi, keragaman nyaris Nampak tunggal, tatkala ia juga berakar pada Tuhan, Al-Haqq. Namun, dengan menegaskan keanekaragaman, ia tidak bermaksud menyatakan bahwa keaneragaman yang “ada” sama pengertianya dengan mengatakan Tuhan “ada”, karena disinilah hanya ada satu wujud, satu-satunya eksistensi yang sejati, yaitu Tuhan dengan wujud-Nya.
            Al-Qur’an mengatakan kepada kita bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Adil, Pengampun, Baik Hati, Sabar, Pemaaf dan lain-lain, yang semua sifat itu tepat sekali yang dijadikan sebagai sifat standar manusia yang harus dijelmakan dalam rangka meraih kesempurnaan moral dan spiritual. Oleh karena itu, Ibnu Arabi mengandaikan diri menunjuk jalan sufi sebagai “Mengandaikan diri dengan sifat Tuhan” (at-takhalluq bi akhlak Allah) dan ia menandai sifat karakter-karakter tersebut dengan nama Tuhan. Maka, ia mendasari perilaku etik dan sosial dengan prinsip-prinsip yang sama untuk membangun alam dunia.[3]
            Sekalipun ia menggunakan kata wujud dalam pengertian yang beragam, dia memahami istilah tersebut dengan satu pengertian fundamental, kemudian menyajikan  fakta bahwa wujud adalah satu. Perbedaan pengertian pada saat istilah tersebut digunakan harus dipahami dengan mengandaikan perbedaan realitas tunggal dari penampakan wujud itu sendiri. Pada tingkatan tertinggi, wujud adalah realitas Tuhan yang absolute dan tak terbatas, yakni “Wujud Niscaya” (Wajib al-Wujud). Dalam penertian ini, wujud menandakan Esensi Tuhan atau Hakikat (Dzat al-Haqq), satu-satunya realitas yang nyata disetiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah, wujud berupa substansi yang meliputi “Segala sesuatu selain Tuhan” (Ma Siwalah) dengan cara inilah Ibnu Arabi dan tokoh-tokoh pemikir lain mendefinisikan “kosmos” atau “jagad raya” (al-‘alam). Oleh karena itu, pada pengertian kedua, istilah wujud tersebut digunakan sebagai stenografi untuk merujuk pada keseluruhan kosmos, kepada segala sesuatu yang eksis. Wujud juga bisa digunakan untuk merujuk pada eksistensi setiap dan segala sesuatau yyang ditemukan dalam jagad raya ini.[4]

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.M Amin Syukur, MA. Tasawuf Sosial. Pustaka belajar. Yogyakarta. 2004
Prof. Dr. H.M Amin Syukur, MA. Dr Abdul Muhaya, MA Dkk. Tasawuf dan Krisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2001
Acmad Syahid. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi. MA,g. Risalah Gusti. Surabaya. 2001, cet !


[1] . Prof. Dr. H.M Amin Syukur, MA. Tasawuf Sosial. Pustaka belajar. Yogyakarta. 2004 hal 3
                                                                                                          
[2] . Ibid hal 4
[3] . Acmad Syahid. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi. MA,g. Risalah Gusti. Surabaya. 2001, cet ! hal. 40

[4] . Ibid hal 28

1 komentar: