Minggu, 27 November 2011

AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH (Dalam Prespektif Historis) : Part I

AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH
Dalam Prespektif Historis
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

A.     Aswaja dalam Geo-sospol (Geneologi Sosial Politik) Global
Perjalanan Aswaja dalam kurun waktu sejarah peradaban masyarakat Muslim tidak selamanya mulus. Meskipun dirinya hadir sebagai pemahaman ke-Islam-an yang dianggap paling sesuai dengan ajaran dan tuntunan Nabi serta sahabat. Secara singkat kita akan melihatnya dlam table berikut :
No
Periode
Momen Sejarah
1
Abu Bakr
  • Didalam wilayah kekuasaanya, Abu Bakr berhasil menyatukan umat Islam, setelah menumpas gerakan Nabi palsu dan kaum murtad
  • Dalam hubungan keluar, penyerangan terhadap basis-basis Romawi dan Persia dimulai
2
Umar bin Khottob
  • Tata pemerintahan di Madinah dibakukan atas dasar syura (musyawarah)
  • Persia berhasil ditaklukan
  • Romawi diusir dari tanah Arab
  • Terjadi pengkotakan antara Arab dan non-Arab
  • Wilayah Islam mencapai Cina dan Afrika Utara
3
‘Usman bin Affan
  • Al-Qur’an dikodifikasi dalam Mushaf Ustmani
  • Embrio perpecahan mulai tampak
  • Pemerintahan labil karena adanya gejolak politik dan isu KKN
  • Armada maritim bibangun
4
Ali bin Abi Tholib
  • Perang Jamal akibat pemberontakan Mu’awiyah
  • Arbitrase Shiffin memecah umat Islam menjadi tiga kelompok besar : Syi’ah. Khowarij, dan Murji’ah
  • Abdullah bin Umar mengkonsolidr gerakan awal Aswaja yang tidak memihak kepada pihak manapun dan lebih memusatkan perhatian pada penyelamatan Sunnah
  • Ahir dari sisten Syura
5
Bani Umayah
  • Meneruskan Kekholifahan sebagai lembaga politik
  • Abdullah bin Umar berkoalisi dengan penguasa Bani Umayah
  • Kembalinya pemerintahan atau dinasti
  • Islam mencapai Andalusia dan Asia Tengah
  • Madzhab-madzhab teologis bermunculan, terutama Qodariyah, Jabariyah, Murji’ah moderat, Mu’tazilah, As’ariyah dan Maturidiyah
  • Aswaja belum terkonsep secara baku
  • Embrio munculnya  madzhab-madzhab
6
Bani Abbasiyah
  • Mu’tazilah menjadi idiologi Negara
  • Mihnah dilancarkan terhadap beberapa Imam Aswaja, termasuk Ahmad bin Hanbal
  • Fiqh dan Ushul Fiqh disitematisasi oleh Imam Syafi’i : Teologi oleh Al-Asy’ari dan Al-Maturdi. Sufi oleh Al-Junaid dan Al-Ghozali
  • Terjadi pertarungan antara doktrin Aswaja dengan kalangan filosof dan tasawuf falsafi
  • Kamejuaan ilmu pengetahuan sebagi wujud dari dislektika pemikiran
  • Pembakuan madzhab-madzhab oleh para pengikutnya
  • Perang salib dimulai
  • Kehancuran Baghdad oleh Mongol dn menjadi awal menyebarnya umat beraliran Aswaja sampai kewilayah Nusantara
7
Ummayah Andalusia/ Spanyol
  • Aswaja menjadi madzhab dominan
  • Kemajuan ilmu pengetahuan menjadi awal kebangkitan Eropa
  • Aswaja berdialektika dngan filasafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd dan Ibnu ‘Arabi
  • Aswaja runtuh, Spanyol ikut Eropa
8
Turki Usmani
  • Aswaja menjadi idiologi Negara dan sudah dianggap mapan
  • Kesinambungan pemikiran hanya terbatas hanya pada Syarah dan Hasyiyah terhada madzahb yang dipegangi pengikutnya
  • Ilmu ke-Islaman mengkrucut menjadi tiga : Fiqh, Teologi, Tasawuf, sedangkan yang lain hanya sebagai penipang, seperti : ilmu bahasa. Hadist dan Ulmul Qur’an.
  • Romawi berhasil diruntuhkan
  • Perang salib berahir dengan kemengaan umat Islam
  • Kekuatan Syi’ah (Safawi) berhasil dilumpuhkan
  • Mughal berdiri kokoh di India
9
Kolonialisme Erpa
  • Masuknya paham sekularisme
  • Pesuat peradaban mulai pindah ke Eropa
  • Aswaja menjadi basis perlawanan imprialisme
  • Kekuatan umat Islam kembali terkonsolidir
10
Ahir Turki Usmani
  • Lahirnya Turki muda yang mebawa misi restrukturisasi dan reinterpretasi Aswaja
  • Gerakan Wahabi lahir di Arab
  • Kekuatan Syiah terkonsolodir di Afrika Utara
  • Gagasan Pan-Islamisme dicetuskan oleh Al-Afghani
  • Abduh memperkenalkan Neo-Mu’tazilah
  • Al-ikhwan Al-Muslimun muncul d Mesir sebagai perlawanan terhadap Barat
  • Berahirnya sistem kekholifahan dan digantikan oleh Nasionalisme (Nation-State)
  • Aswaja tidak lagi menjadi idiologi Negara
11
Pasca PD II
  • Aswaja sebagai madzhab ke-Islam-an yang paling dominan
  • Diikuti usaha-usaha kontekstualisasi Aswaja di Negara-negara Muslim
  • Lahirnya Negara muslim Pakistan yang berhluan Aswaja
  • Kekuatan Syi’ah menguasai Iran
  • Lahirnya OKI namnun hanya bersifat simbolik saja.

Landasan dan prinsip dasar Aswaja dalam Arus Sejarah (Part III)

          a. Landasan dan prinsip dasar Aswaja dalam Arus Sejarah
1.      Tawasuth
Tawasuth bisa dimaknai sebagai berdiri tengah, moderat, tidak ekstrim (baik ekstrim kanan maupun kiri), tetapi memiliki sikap pendirian. Khoirul Umur Ausathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawasuth merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mnegarahkan pemikiran kita agar tidak terjebak dalam agama an rich. Dengan cara menggali dan me-elaborasi dari berbagai metodologi dan pemikiran ilmu baik dari Islam maupun Barat, serta mendialogkan agama, filsafat dan sains.

2.      Tasamuh
Tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah landasan dan bingkai yang menhargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khusunya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan ahirnya adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa perpecahan. Dalam kehdupan beragam, Tasamuh direalisasikan dalam bentuk meghormati keyakinan dan kepercayaan umat beragama lain dan tidak memaksa meraka untuk mengkikuti keyakinan dan kepercayaan kita.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Tasamuh terwujd dalam perbuatan-perbuatan demokratis yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama, dan setiap usaha bersama itu ditujukan untuk menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan hormat menghormati.
Diberbagai wilayah, Tasamuh juga hadir sebagai usaha mejadikan perbedaaan Agama, Negara, Ras, Suku, Adat istiadat, dan bahasa sebagai perangkat dinamisasi usaha perubahan mejadikan masyarakat menjadi lebih baik. Peredaan itu berhasil dieratkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk membentuk masyarakat yang berkadilan, keanekaragaman, saling melengkapi Unity in Diservity.

3.      Tawazun
Tawazun berarti keseimbngan dalam bergaul dan berhubungan, baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya, maupun antara manusia dengan alam. Keseimbangan di sisni dalam bentuk hubungan yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kehidupan yang damai.

4.      Ta’adul
Ta’adul merupakan keadilan, yang merupakan ajaran universal Aswaja. Setiap pemikiran dan relasi harus selalu diselaraskan dengan landasan ini. Pemaknaan keadilan yang di maksud di sini adalah keadilan sosial, yakni landasan kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkanya dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Kholifah ‘Umar bin Khotob yang telah meletakan fundamen bagi peradaban  Islam yang agung.

Keempat landsan tersebut dalam prosesnya harus berjalan bersamaan dan tidak boleh dari salah satupun bingkai ini tertinggal. Karena jika ada satu yang tidak ada, maka Aswaja sebagaiManhajul fikr akan pincang

b.      Implementasi Landsan Aswaja dalam Konteks Gerkan
Aswaja sebagai Manhaj Fikr dan Manhaj Taghotur al-Ijtima’i bisa ditarik dari nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan sahabat ketika merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi landasan pokok perubahan itu :
·         Basis Nilai atau Epistimologi : yaitu cara berfikir yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang diiplementasikan secara konswekwen dan penuh komitmen oleh para pemikir dalam historitas Aswaja yang terbingkai dalam enam poin tersebut.
·         Basisi Realitas : yaitu dialektika antara konsep dan realita yang selalu terbuka untuk dikontekstualkan sesuai dinamika perubahan dan lokalitas dan keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat bawah.
Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang konsisten dengan Aswaja, termasuk didalamnya PMII. Konsistensi disini hadir dalam bentuk elan dinamis yang selalu terbuka untuk dikritik dan di konstruk ulang, sesuai dengan dinamika zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh dari sifat eksklusif dan fanatik. Maka empat landasan yang dikandung oleh Aswaja untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan perkembangn teori-teori sosial dan idiologi-idioogi dunia.
Ø  Tawasuth  harus kita maknai tidak mengikutu makna Kapitalisme-liberal disatu sisi, dan Nasiolisme disisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang otentik tentang relaitas yang selal berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaanya ada dalam tradisi paadigma yang dipakai oleh PMII yaitu “Paradigma Kritis Transformatif”. Walaupun dalam kerangka konseptual Aswaja menekan pandangan yang sangat moderat, itu tidak bisa diartikan secara serampangan sebagai sikap sok bijak dan mencari selamat serta cenderung opurtunis. Tetap harus ada rinsip-prinsip yang dipegang dalam Aswaja. Jadi misalnya, dalam Aswaja tidak ditekankan bentuk Negara macam apapun yang dibentuk : Republik, Federal, Islam , atau apapun. Tetapi bagi Aswaja bentuk apapun Negaranya yang terpenting prinsip-prinsip diatas teraplikasikan oleh pemerintah dan segenap jajaranya. Sekaligus, juga Aswaja tidak melihat apakah pemimpinn itu Muslim atau non-muslim asal bisa memenuhi prinsip diatas, maka ia boleh menjadi seorang pemimpin.
Ø  Tasamuh harus kita maknai sebagi bersikap toleran dan terbuka terhadap semua golongan selama meraka bisa menjadi saudara bagi sesama. Sudah bukan waktunya lagi terkotak-kotak dalam kebekuan golongan, apalagi agama. Seluruh gerakan dalam satu gerakan pro-demokrasi harus bahu membahu membentuk aliansi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik, bebas dari segala bentuk  penindasan dan penjajahan. PMII harus bersikap inklusif terhadap sesama peencari kebenaran dan membuang semua bentuk premodialisme dan fanatisme keagamaan.
Ø  Tawazun harus dimaknai sebagai usaha mewujudkan egatarianisme dalam ranah sosial, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antar sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas atas dan bawah. Di wilayah ekonomi PMII harus melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar dan masyarakat. Bereda dengan kapitalisme yang memusatkan orientasi ekonomi ditangan pasar sehingga Negara hanya menjadi obligator belaka dan masyarakat ibarat robot yang harus selalu menuruti kehendak pasar, atau sosialisme yang menjadikan Negara sebagai kekuatan masyarakat untuk mengembangkan semua kegiatan ekonominya. Di wiliyah politik, isu yang diusung adalah mengembalikan posisi seimbang antara rakyat dan Negara.
PMII tidak menolak kehadiran Negara, karena Negara melalui pemerintahanya merupakan implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu dikembalikan adalah fungsi Negara sebagai pelayan adan pelaksana setiap kehendak dan kepentingan rakyat. Di bidang ekologi, PMII harus menolak segala bentuk eksploitasi alam hanya semat-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang berlebihan. Maka, kita harus menlak nalar positivistik yang diusung oleh Neo-Liberalisme yang menghalalkan eksploitasi berlebihan terhadap alam demi memenuhi kebutuhan bahan mentah, juga setiap bentuk pencemaran lingkungan yang justru dianggap sebagai indikasi kemjuan teknologi dan percepatan prouksi.
Ø  Ta’adul sebagai keadilan sosial mengandaikan usaha PMII bersama seluruh komponen masyarakat baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan bagi seluruh umat manusia. Keadilan dalam ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuanagan menuju keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh, bukan menunggu anugrah dan peberian turun dari langit.

Kemudian dari keempat. Landasan (bingkai) dan prinsip dalam hal perubahan inilah yang menurunkan nilai-nilai pergerakan, yang kemudian berdasarkan uraian diatas, kita dapat memahami bahwa Aswaja Manhajul fikr dan historitasnya berusaha dengan sunggu-sungguh menyusun agenda Metodologis-Ulama pada zaman sekarang dan sebelumnya. Dengan melacak akar historisnya, karena sejarah adalah sistem yang membangun masa kini dan yang akan datang. Metodologi historis yang dimaksud didsini adalah menjadikan Al-Qur’an, Hadist dan metodologi-ulama baik dari Timur maupun Barat sebagai kerangka Epistimologi dan Aksiplogi bagi kader PMII dalam menafsirkan dan mentransformasikan realitas. Sehingga epistimologi ini Nampak abstrak karena mendapat varian-varian metodologi yang kesemuanya masih dalam lingkup Aswaja dan sulit ditemukan benang merahnya. Bahkan sampai sekarang, metode tersebut belum ditemukan. Hal ini berbeda ketika Aswaja sebagai Manhaj Madzhab, disini metodologi sangat jelas yakni berdasarkan metodologi yang disusun oleh para Imam Madzhab (Qonun Asasi) semisal kaidah Ushul Fiqh dan Qiyasnya Syafi’I, Istihsanya  Maliki, Malahah Mursalah, dan lain-lain. Sedangkan paradigma dan orentasinya adalah fiqh meski dalam perjalananya dinggap tidak relevan.[]

Aswaja sebagai manhajul Fikr dab Manhaj At-Taghayur Al-Ijtima’i (Part II)

                      Aswaja sebagai manhajul Fikr dab Manhaj At-Taghayur Al-Ijtima’i

Dari siilah maka kemudian PMII juga memaknai Aswaja sebagai Manhaj at-Taghoyur al-Ijtima’I (pola perubahan yang berdimensi sosial kemasyarakatan kemanusiaan) yang sesuai dengan nafas perjuangan Rasulullah yang dilanjutkan para sahabat penerusnya sampai diera kontemporer, yang mana metede ini tidak hanya bertumpu pada aspek fiqh dan usul fqh saja, namun memodifikasinya dengan keilmuan yang lain baik itu datangnya dari para pemikir muslin atau non-muslim dengan tetap mempetahankan dimensi historitas dari keilmuan fiqh dan barang tentu teologi dan tasawuf yang disusun beberapa abad tahun yang lalu untuk diajarkan terus menerus pada era sekaranag setelah permasalahan zaman terus berevolusi.
Kemudian, rangkaian historis-empiris-fleksibelitas epistimologi dan metodologi yang sesuai dengan politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim pada saat itu. Mulai dari Rasulullah sampai Manhja at-Taghotur al-Ijtima’i yang terbingkai dalam landasan Tawasuth (netral), Tawazun (proposional), Ta’adul (adil) dan Tasamuh (toleran), itulah yang oleh PMII dimaknai Aswaja sebagai Manhaj fikr yaitu metode berfikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan para tabi’in yang erat kaitanya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim saat itu.
Dari Manhajul fikr inilah muncul pemikiran-pemikiran keIslaman baik dibidang Aqidah, Syari’ah maupun Akhlak ataupun Tasawuf, dan tentu saja ilmu-ilmu Sosial Humaniora (kemanusiaan) walaupun beraneka ragam tetap dalam satu ruh. Inti yang menjadi ruh dalam Aswaja baik sebagi Manhajul fikr maupun Manhj at-Taghoyur al-Ijtima’i adalah sebagaimana yang disabdakan Rasululah : Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi (sesuatu yang berasal dariku –Rasul- dan para sahabatku).
Jadi, benang merah yang bisa ditarik dari Manhajul fikr para Imam dan para pemikir tersebut adalah sebuah metode berfikir yang “elektik” (mencoba mencari titik temu dari sekian perbedaan dengan pembacaan yang jeli, sampai melahirkan tawaran alternatife). Dan posisi mereka dalam dialektika Qonun Asasi tersebut, seperti, Mu’tazilah, Khowarij, Syiah, dan lainnya. Bahkan tentu metode ilmu-ilmu sosial humanistik yang datang dari barat, yang dalam hal ini fokus utamanya adalah sejauh mana metodologi-metodologi itu dapat diimplementasikan secara nyata dan memberi manfaat kepada manusia secara universal.

Asawaja Secara Normatif (Part II)

Aswaja Secara Normatif

Secara Normatif, Ahlusunnah Wal Jama’ah adalah madzhab ke-Islam-an yang menjadi dasar Jam’iyah Nahdlotul ulama (NU). Sebagaimana termaktub dalam Qonun Asasi yang telah dirumuskan oleh Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari berdasarkan seleksi beliau terhadap madzahab-madzhab yang telah difomulasiakan pada zaman Daulah Abbasiyah. Yaittu :
1.      Dalam Ilmu Teologi mengikuti dari salah satu dari : Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Hasan al-Maturudi
2.      Dalam Syari’ah atau Fiqh mengikuti salah satu dari Imam empat : Abu Hanifah, Malik bin Annas, Muhammad bin Idris As-Syafi;I dan Ahmad bin Hanbal
3.      Dalam Tasawuf atau Akhlaq mengkiuti salah satu dari dua Imam : Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid alGhozali

Normafitas Aswaja dalam Pemahaman PMII
a.      Pergeseran makna Aswaja
Dalam konteks ke-Indonesia-an Jami’iyah Nahdlotul Ulama (NU) dan Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja) ibarat dua sisi mata uang. Ketika menyebut konsep NU, dalam konsep kita terbayang imam-imam besar sebagaimana dirumuskan oleh Faunding Father Hadroatus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi yaitu : “Dalam Ilmu Teologi mengikuti dari salah satu dari : Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Hasan al-Maturudi. Dalam Syari’ah atau Fiqh mengikuti salah satu dari Imam empat : Abu Hanifah, Malik bin Annas, Muhammad bin Idris As-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dalam Tasawuf atau Akhlaq mengkiuti salah satu dari dua Imam : Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid alGhozali”
Ada dua pola pemahaman kaum Muslim terhadap Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Pertama, yang memahami Aswaja identik dengan Islam dan doktrin pemurnian (purifikasi) ajaran Islam. Kedua, yang memahami Aswaja sebagi “Madzhab” saja. Baik pola pertama maupun kedua, masing-masing mempunyai kelemahan. Pola yang pertama seringkali mengklaim bahwa kebenaran hanya milik kelompoknya, sehingga kesan sektarianisme sulit dihindarkan. Pada level praksisnya, pengkafiran (takfir) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam realisasinya dengan non-muslim maupun dengan umat Islam tapi yang tidak satu aliran, sehingga bentuk kekerasan menjadi mudah dilakukan atas dasar teks agama.
Pada madzahab juga mmpunyai kecenderungan untuk menjadi institusi, dan karenanya ia menjadi kaku (jumud), karena madzahab mengandaikan kebakuan suatu pola ajaran, dan ahirnya itu semua menjadi ajaran atau doktrin yang terbakukan. Dipola nomor dua inilah mayoritas masyarakat NU memahaminya, bahkan rumusan definitife Aswaja tersebut dalam perkembangan yang hanya dipahami dalam konteks “berfikir” dan mengikuti apa saja yang telah dihasilkan para Ulama terdahulu (taklid) lebih jauh, pada dataran praksisnya Aswaja mengkrucut lagi menjadi madzhab fiqh Syafi’I saja dan menempatkan fiqh sebagai “kebenaran ortodoksi” yakni menundukan realitas dengan fiqh. Menyadari relitas yang demikian itu, maka Aswaja berusaha dipahami dan direfleksikan kembali dalam konteks aslinya, yang sesungguhnya sangat kritis, elektik dan analitis.
Memeng tiga pola panutan Qonun Asasi ini dalam prakteknya tidaklah sederhana dan cenderung problematik. Apabila ketika diruntut sejarah masing-masing ajaran disertai dengan varian-varian pemikiran para pengikutnya, semakin jelas terjadi kompeksitas gagasan bahkan terjadi pemilahan pada dua kutub yang saling bersebrangan. Realitas sejarah beserta varian-varian pemikiran madzhab yang tersebut diatas, membawa kita berkesimpulan bahwa Aswaja bukanlah sebuah doktrin yang kaku, baku dan linear yang dimana banyak sekali persoalan didalamnaya, sehingga dalam memahami Aswaja tidaklah cukup  hanya produk pemikiran (madzhab) atau perkataan (qauli yang terdokumentasi dalam karya-karya) dari madzhab-madzhab diatas, akan tetapi juga metode (manhaj) berfikir mereka dalam menyusun pemikiranya yang disesuaikan dengan konteks yang mereka hadapi. Maka qoul-qoul madzhab terutama dalam kajian fiqh yang sudah terbukukan jika dalam konteks sekarang tidak relevan –bukan berarti salah- maka harus diinterpretasi ulang dan mengembalikanya ke Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian dari teks agama ini digali hukum-hukum baru dengan menggunakan metodologi imam madzhab tersebut (Madzhab Minhaj) agar sesuai dengan keadan sosial sekarang.
Ada empat ciri yang menonjol dalam memaknai Aswaja  sebagai madzhab manhaj ini. Pertama, fiqh dihadirkan sebagai etika dan interpretasi sosial dan bukan sebagai hukum positif madzhab. Kedua, dalam hal metodologi madzhab tersebut didalamnya sudah mulai diperkenalkan metodologi pemikiran filosofis terutama dakam masalah sosial budaya. Ketiga, verifikasi mana yang terasuk ajaran pokok (usul) dan mana yang cabang (furu’). Keempat, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam kajian teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru.
Dengan model bermadzhab seperti ini diharapkan dapat memberikan spirit baru untuk keluar dari “tempurung sakral” masa lampau dan berani memunculkan pikiran-pikiran eksprementatif sosial yang kreatif dan orisinil. Dalam konteks ini kreasi-kreasi ulama masa lalu tetap tidak dinafikan dan diletakan dalam kerangka kooperatif. Namun karya tersebut jangan sampai menjadi belenggu pemikiran yang mematikan. Sehingga jalan masuk untuk melakukan terobosan baru dalam setting tranformasi sosial, ekonomi, politik maupun budaya menjadi lebar.
Peletakan fiqh seperti ini memunculkan problem metodologis yang sangat besar karena madzhab yang dianut masyarakat NU adalah madzhab Syafi’i. kendati dalam Qonun Asasi mengakui adanya empat madzhab, namun dalam wilayah praksisnya itu tidak secara otomatis dilakukan secara elektik karena ada rambu-rambu talfiq  metodologi yang tidak mudah ditembus. Meski demikian dikalangan para kyai sepuh yang notabenya menguasai ilmu-ilmu agama metode ini sudah diterapkan. Hal ini bisa dilihat dari adanya Bahatsul Masail yang mencoba merumuskan pemikiran-pemikiran segar agar selalu menyesuaikan zaman.
Dan seiring perkembanganya zaman, madzhab manhaj ini pun dirasakan kurang menyentuh relaitas. Lagi-lagi, relaitas harus dijustifikasi dengan metodolgi agama yang sebatas pada ketiga pola Qonun Asasi yaitu, fiqh, teologi dan tasawuf, terutama dalam aspek fiqhnya. Pemahaman seperti ini tidak memadai untuk dijadikan pijakan gerak PMII. Sebab, pamahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang dalam konsepmetodologi menjadi beku dan tidak bisa diotak-atik lagi. Pemaknaanya hanya dibatasi pada metodologi ulama klasik saja. Karena secanggih apa pun metodologi, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang dihadapinya. Padahal untuk menjadi sebuah dasar pergerakan, Aswaja harus senantiasa flesibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan sebagai metodologi yang terbuka. Oleh karena itu, lagi-lagi interpretasi ulang terhadap konsep madzhab manhaj harus dilakukan.
Lebih jauh, implikasi yang dihasilkan dalam tatanan pola pikir pranata sosial yang dihadirkan dalam kehidupan orang-orang NU dianggap terlalu kaku sehinggaa kurang responsife terhadap tantangan dan tuntutan perkembanagn zaman. Khusunya dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan hudud, hak asasi manusia , hokum public, gender, dan pandangn dengan non-muslim. Meski m manhaj madzhb telah dilakukan tetapi tetap saja rumusan Qonun Asasi khusunya fiqh tidak berani mendekati kecuali ulama-ulama yang dianggap mumpuni. Tegasnya, madzhab-madzhab yang bertumpu pada keilmuan fiqh yang berimplikasi pada cara pandang dan tatanan pranata sosial dalam masyarakat NU belum berani dan selalu menahan diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di dataran Eropa yang notabenya non-muslim, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat, dan lain sebagainya. Bahkan dari sesama muslim yang dianggap tidak satu madzahab, seperti, Mu’tazilah, Wahabi, Syiah, Khowarij, dan lain-lain, maupu para pemikir Islam kiri seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abduh, Muhammad Arkaun, Fazlurrahman, dan lain-lain, masyarakat NU masih eksklusif.
Maka keterbukaan terhadap kemungkinan kontak dan pertemuan langsung antara tradisi dan pemikiran keilmuan Manhaj Madzhab dengan keilmuan kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan pendekatan yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humanistik harus dilakukan. Sehingga terciptanya tatanan masyarakat yang berdimensi kemanusiaan yang tidak melulu berporos pada fiqh yang cenderung trasdental a sich. Ketika pola Ijtihad itu bertemu dan berdialog, maka teori, metode, dan pendekatan yang digunakan pun perlu dirubah. Jadi dalam rumusan fiqh dan kaidah usul fiqh dilakukan infilterisasi yang ketat sejauh mana ia sesuai dengan konteks zaman dan tidak bertentangan dengan paradigm gerakan dan pembaharuan yang progesif.

Target, Tujuan, dan Pokok Bahasan ASWAJA (Part I)

AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

Target :
  1. Peserta mampu memahami Aswaja sebagai Minhajul Fikr atau sebagai Landasan Berfikir
  2. Peserta dapat mengahayati peranan Aswaja sebagai Manhaj Taghayur al-Ijtima’ atau pola perubahan sosial kemasyarakatan
  3. Peserta memiliki pengetahuan yang komperhensif tentang Hablun Min Allah, Hablun Min Annas, dan Hablun Min Alam, Tauhid dan Antropormofisme transendental yang merupakan pijakan dan landasan gerakan PMII
  4. Peserta memiliki cakrawala berfikir yang luas perihal Pergulatan atau Historitas Aswaja dalam rentang sejak masa Nabi sampai sekarang ini.
  5. Peserta dapat mengimplementasikan nilai-nilai Aswaja sebagai ruh perjuangan

Tujuan :
Terciptanya kader beridentitaskan Aswaja yang setiap langah dan nafas hidupnya berpijak pada nilai-nilai dasar PMII

Pokok Bahasan :
  1. Aswaja secara Normatif
Normatifitas Aswaja dalam pemahaman PMII
a.      Pergeseran makna Aswaja
b.      Aswaja sebagai Manhajul Fikr dan Manhaj At-Taghayur Al-Ijtima’i
c.       Landasan dan prinsip dasar Aswaja dalam Arus Sejarah
d.      Implementasi Landsan Aswaja dalam Konteks Gerkan
  1. Historitas Aswaja
a.      Aswaja sebagi Geo-Sospol (Geneologi Sosial Politik) Global
b.      Aswaja dalam Sejarah Nusantara (Ke-Indonesia-an)

RANTARTIB PKD 2011

PERATURAN TATA TERTIB PKD 2011
PMII (pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

BAB I: KEDISIPLINAN
Pasal 1
Peserta :
  1. Peserta wajib menyimak dan aktif dalam setiap penyampaian materi PKD
  2. Peserta wajib menaati peraturan yang telah ditentukan dalam kontrak belajar
  3. Apabila dalam pint 1 dan 2 peserta tidak menaati, peserta akan mendapatkan sangsi dengan kategori pelanggaran

Pasal 2
Panitia :
  1. Panitia wajib melaksanakan tugas dengan job-discription-nya masing-masing
  2. Panitia wajib menaati semua peraturan dan ketentuan yang telah disepakati dalm kotrak belajar
  3. Apabila poin 1dan 2 panitia tidak dapat menaati, panitia akan mendapatkan sangsi sesuai dengan kategori pelanggaran

Pasal 3
Fasilitator :
  1. Fasilitator wajib melaksanakan tugas dengan job-discription-nya masing-masing
  2. Fasilitator wajib menaati semua peraturan dan ketentuan yang telah disepakati dalm kotrak belajar
  3. Apabila poin 1dan 2 fasilitator tidak dapat menaati, panitia akan mendapatkan sangsi sesuai dengan kategori pelanggaran

BAB : II SANGSI
Pasal 4
Peserta :
Peserta yang melanggar akan dikenakan sangsi sesuai dengan kategori pelanggaran-planggaran dibawah ini :
  1. Ringan             :  diperingatkan dan disuruh minta tanda tangan fasilitator.
  2. Sedang            : membersihkan ruang session atau arela PKD dan minta tanda tangan kepada fasilitator
  3. Berat               : dipulangkan dengan tidak terhormat
Pasal 5
Panitia :
Panitia yang melanggar akan dikenakan sangsi sesuai dengan kategori pelanggaran-planggaran dibawah ini :
  1. Ringan             : diperingatkan
  2. Sedang            : doperingatkan dan dievaluasi
  3. Berat             : diperingatkan dan dievaluasi dan disuruh membersihakan ruangan serta peralatan makan

Pasal 6
Fasilitator :
Fasilitator yang melanggar akan dikenakan sangsi sesuai dengan kategori pelanggaran-planggaran dibawah ini :
  1. Ringan             : diperingatkan
  2. Sedang            : doperingatkan dan dievaluasi
  3. Berat               : diserahkan kepada team instruktur

BAB : III PERIZINAN
Pasal 7
Peserta :
  1. Peserta yang meninggalkan session harus mendapatkan izin dari penanggung jawab kelompok, panitia, dan fasilitator
  2. Peseta yang meninggalkan area PKD harus mendapatkan izin dari panitia dan team instruktur
Pasal 8
Panitia :
Panitia yang meninggalkan area PKD harus mendapatkan izin dari ketua panitia dan team instruktur

Pasal 9
Fasilitator :
Fasilitator yang meninggalkan area PKD harus mendapatkan izin dari ketua panitia dan team instruktur




Wonosobo……………………,2011

Instruktur

  
   (…………………….)
          Koordinator