Jumat, 18 November 2011

Muharromat Menurut Al-Qur'an

PENDAHULUAN

Islam adalah agama Rahmatan lil ‘alamin, memiliki sumber-sumber rujukan yang sangat trasenden yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an bukanlah sumber rujukan satu satunya dalam Islam, karena sifat trasendennya Al-Qur’an mengharuskan ada perangkat untuk disampaikan kepada umat manusia yang berfungsi sebagai penjelas dari Al-Qur’an itu sendiri. Adalah As-Sunah yang tidak hanya sekedar penjelas Al-Qur’an tetapi juga penyempurnanya Al-Qur’an sekaligus sumber hukum kedua dalam Islam. Selanjutnya atas konsensus jumhur ulama terdapat sumber hukum yang lain berupa Ijma’ dan Qiyas.
Baik ijma’ maupun Qiyas sebenarnya masuk dalam nalar Ijtihad dalam Islam, karena nalar ijtihad merupakan segala potensi untuk mengaktualisasikan teks wahyu ke dalam realitas kehidupan sehari-hari. Begitu sentralnya peran nalar ijtihad Sehingga sumber hukum Islam sebetulnya bisa kita simplifikasikan menjadi tiga hal yaitu; Al-Qur’an, As-Sunah dan Ijtihad.
Al-Qur’an –meminjam istilah Arkoun- merupakan korpus terbuka, yang mana terbuka lebar adanya penafsiran dan eksploitasi untuk digali pemahaman dan dan peghayatannya. Dalam kaitan ini, kalangan juris Islam sering membuat postulasi bahwa teks ajaran dalam Islam ibarat sebuah gunung e yang puncaknya trapung di permukaan laut. 10 persennya dapat terlihat dengan jelas di atas permukaan air, sementara 90 persen sisanya terendam di bawah air yang untuk menyelaminya dan mengetahuinya membutuhkan perangkat peralatan tidk ringan yaitu berupa nalar Ijtihad.
Berkaitan juga hal tersebut akan adanya ayat-ayat Qoth’i yang konstan dan mesti diterima sebagai keharusan sedang ada ayat dzanny yang merupakan aturan-aturan yang masih global dan intrpretable. Aturan Qoth’i hanya terdapat 10 persen sedang selebihnya berjumlah 90 persen merupakan ayat-ayat dzanny. Segmen yang kedua ini merupakan hukum-hukum operasional yang langsung bersentuhan dengan fenomena sosial dan kemasyarakatan. Segmen ini menerima akses perubahan sepanjang tetap mengacu pada pesan-pesan moral yang terkandung di dalam ajaran suci secara global dan tersirat berupa Al-Qur’an.  
Dari Al-Qur’an inilah muncul ayat-ayat Muharomat sebagai pedoman hidup manusia meskipun Prinsip pertama yang ditetapkan Islam adalah pada asalnya, segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal. Akan tetapi karena adanya suatu sebab diharamkanlah Sesutu itu. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat periwayatannya) dan sharih (jelas maknanya) dari pemilik syari’at (Allah Swt) yang mengharamkannya. Adanya perubahan hukum dari asalnya halal dan haram ini tidak lepas dari hikmah yang terkandung dalam hukum tersebut.[1]
Muharromat dalam Islam tentunya bersifat pasti dan mengikat karena secara tegas memang syari’at mengatur demikian. Bagaimana jika Muharomat tersebut tidak sesuai dengan prinsip Islam itu sendiri yang harus sesuai dengan semangat humanisme serta dituntut untuk selalu sholeh li kulli zaman wa makan?. Maka dalam makalah ini penulis akan memaparkannya dengan sederhana tentang kedudukan Muharomat baik menurut Al-Qur’an maupun realitas zaman.

  
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Muharromat
Muharromat adalah: sesuatu yang dituntut oleh syari’at untuk ditinggalkan pelaksanaannya dengan suatu tuntutan yang pasti. Sebagaimana shighat tuntutan untuk meninggalkan itu sendiri menunjukkan bahwa hal itu pasti,[2] seperti firman Allah SWT:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$#
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)”(Q.S. Al-Maidah: 3).

Dan firman Allah swt yang lain:

ö@è% (#öqs9$yès? ã@ø?r& $tB tP§ym öNà6š/u öNà6øŠn=tæ
Artinya:“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu”(Q.S. Al-An’am:151)

Atau ia merupakan larangan untuk melakukan yang disertai dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa hal tersebut adalah pasti, misalnya firman Allah Swt sebagai berikut:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y
Artinya:“Dan janganlah kamu mendekati zina;Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”
              (Q.S.Al-Isra’: 32)

Atau ia merupakan perintah untuk menjauhi yang dibarengi dengan dalil yang menunjukkan bahwa hal itu bersifat pasti, seperti firman Allah Swt:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè?
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
(Q.S. Al-Maidah:90).[3]
Ataupun adanya hukuman yang menjadi konsekuensi dari sustu perbuatan seperti:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿ
Artinya:“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi”
              (Q.S. An-Nur:4).

Terkadang pula pengharaman diambil dari Sighat khabariyah (berita) yang menunjukkan kepada haram, atau dari bentuk tuntutan yang merupakan larangan, atau sighat tuntutan yang merupakan perintah untuk meninggalkan maka qarinah tersebut menentukan bahwa tuntutan tersebut adalah untuk mengharamkannya.
B.     Pembagian Muharromat
Muharromat terbagi dalam dua bagian sebagai berikut:[4]
1.    Muharromat Asholah lidzatih (yang diharamkan secara asli menurut zatnya), maksudnya, bahwasanya ia merupakan perbuatan yang hokum syara’nya tahrim sejak awal, sebagaimana zina, pencurian, shalat tanpa bersuci, mengawini salah satu dari mahram padahal ia mengetahui keharamannya, dan lain sebagainya yang termasuk dari sesuatu yang diharamkan dengan pengharaman dzatnya, karena ia mengandung berbagai kerusakan dan mudharat. Pengharaman dating terhadap zat perbuatan itu.
2.    Muharamat li ‘Aridh atau Li Ghoirihi (karena suatu hal yang baru). Maksudnya adalah bahwa ia merupakan satu perbuatan yang hukum syari’inya pada mulanya wujud, nadb, atau ibahah, akan tetapi ada sesuatu hal yang baru menyertainya yang menjadikannya sebagai yang diharamkan, seperti melakukan shalat dengan mengenakan pakaian yang dighasab, menjual sesuatu yang mengandung penipuan, dan lain-lain yang terdapat pengharaman karena adanya hal yangbaru. Jadi, pengharaman itu bukan karena esensi perbuatan itu, akan tetapi karena yang bersifat diluar meskipun tidak mengandung kerusakan atau bahaya akan tetapi ada sesuatu yang mengandung mafsadah (kerusakan yang dating kemudian dan menyertainya.
Diantara sesuatu hal yang didasarkan atas pembagian ini ialah bahwasanya sesuatu yang diharamkan menurut asalnya, maka ia sama sejali tidak disyari’atkan. Ia tidak layak menjadi sebab syara’I, dan hukum hukum syar’I tidak akan timbul di atasnya, akan tetapi ia adalah batal. Oleh karena itulah maka shalat tanpa bersuci adalah batal, menikahi salah seorang mahram disertai pengetahuan tentang keharaman adalah batal, jual beli bangkai adalah batal. Sedangkan sesuatu yang batal menurut syara’, tidak menimbulkan konsekuensi hukum.
Adapun sesuatu yang diharamkan karena sesuatu yang baru, maka pada esensinya sesuatu itu disyari’atkan, maka ia bias menjadi sebab syar’I dan berbagai pengaruh dapat timmbul daripadanya, karena pengharaman tersebut adalah dating kemudian, dan bukan dzatnya. Oleh Karena itu, sholat mengenakan pakaian yang dighasab adalah sah dan mencukupi namun ia berdosa karena ghasab. Penjualan sesuatu yang mengandung penipuan adalah sah, Talaq bid’I juga jatuh. Sedangkan ilat dalam hokum-hukum ini adalah bahwasanya pengharaman karena sesuatu yang baru, tidak ,menimbulkan cacat pada pokok sebab, mapun pada sifatnya, sepanjang rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya dipenuhi. Adapun pengharaman yang bersifat dzatnya, maka pengharaman itu menyebabkan kerusakan pada pokok sebabnya dan sifatnya, dengan tidak terpenuhinya satu rukun atau satu syaratnya, sehingga ia keluar dari keberadaanya sebagai sesuatu yang disyaria’tkan.[5]
Dalam menentukan hukum bagi pebuatan haram li ghairihi trsebut, apakah batal atau fasad, terdapat perbedaan pendapat ulama Ushul fiqh. Ulama Hanafiyah bnerpendapat, karena keharamannya bukan pada dzatnya, tetapi disebabkan factor luar, maka menurut mereka hukumnya fasid atau batal. Oleh sebab itu, akad tersebut boleh dilakukan, tetapi tidak sah. Agar akad tersebut menjadi sah, maka factor-faktor luar yang menyebabkan keharaman itu harus disingkirkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara haram li dzatih dengan haram li ghoirihi dari segi akibatnya, yaitu sama-sama haram (dilarang).[6]
C.    Ayat Muharomat di dalam Al-Qur’an
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an mengatur beberapa hal dengan sedemikian rupa aya-ayat muharomat yang menjadi pijakan uamt manusia mengarungi hidupnya, sehingga beberapa ayat hukum dalam muharomat misalnya menjadi tuntunan yang telah digariskan oleh syar’i.
Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan dengan bahasa Arab, banyak terjemahan al qur’an ke berbagai bahasa. Bahkan al Qur’an merupakan kitab suci yang banyak memiliki tafsir baik secara kuantitas para penafsir maupun banyaknya jilid kitab-kitab tafsir oleh seorang penafsir
Para penafsir tersebut memberikan penafsiran terhadap al qur’an lewat berbagai pendekatan, ada yang mengkhususkan terhadap masalah-masalah ayat-ayat hukum[7]
Berikut ini disajikan ayat – ayat yang berkaitan dengan masalah- masalah hukum dalam Kitab Rawai ‘ul Bayan Tafsir Aat Ahkam Minal Qur’an karya syaeikh ali ash shabuni jilid 1
No
Surat
Ayat
Topik
1
Al fatihah
1-7
Surat Al Fatihah

Al Baqarah
101-103
Sihir Menurut Syari’ah

Al Baqarah
106-108
Nasykh dalam Al Qur’an

AL Baqarah
142 – 145
Menghadap Ka’bah dalam Shalat

AL Baqarah
158
Sa’y antara Shafa dan Marwah

Al Baqarah
159 – 160
Menyembunyikan ilmu syari’at

Al Baqarah
172 -173
Mubahnya hal yang baik dan haramnya hal yang keji

AL Baqarah
178 – 179
Dalam Qishash ada kehidupan di dalamnya

AL Baqarah
183- 187
Kewajiban puasa bagi umat Islam

AL Baqarah
190 – 195
Disyari’atkannya perang dalam Islam

AL Baqarah
196 – 203
Menyempurnakan haji dan umrah

AL Baqarah
216 – 218
Perang di bulan-bulan yang dihormati

AL Baqarah
219 – 220
Diharamkannya judi dan khamr

AL Baqarah
221
Menikahi wanita musyrik

AL Baqarah
222 -223
Tidak menggauli wanita haid

AL Baqarah
224 – 225/226-227
Larangan banyak bersumpah

AL Baqarah
228 -231
Syari;at Islam tentang thalaq

AL Baqarah
233
Ketentuan tentang sepersusuan

AL Baqarah
234
Idah wanita yang ditinggal mati suami

AL Baqarah
235-237
Meminang wanita dan hak mahar

AL Baqarah
275 – 281
Kejahatan sosial riba yang membahayakan

Ali Imran
29
Larangan berpihak pada orang kafir

Ali Imran
96 -97
Kewajiban haji dalam Islam

An Nisa’
1 – 4
Poligami dan Hikmahnya

AN Nisa’
5 – 10
Perhatian Islam terhadap harta anak yatim

An Nisa’
19 – 24
Mahram-mahram

An Nisa
34 – 36
Cekcok dalm keluarga dan solusinya

An Nisa’
43
Larangan shalat ketika mabuk dan junub

An Nisa
92 – 94
Tindak krimanal pembunuhan dan sanksinya

An Nisa’
101 – 107
Shalat Khauf

Al Maidah
1 – 4
Makanan yang halal dan yang haram

Al Maidah
5 -6
Ketentuan tentang wudlu dan tayammum

AL Maidah
33 – 40
Pidana pencurian dan perampokan

Al Maidah
89 – 92
Kafarat sumpah dan keharaman khamer, judi

Al Taubah
17 -18
Memakmurkan masjid

At Taubah
28 -29
Larangan masuk masjid bagi orang musyrik

Al Anfal
2 – 4
Ketentuan tentang rampasan perang

Al Anfal
15 – 18
Melarikan diri dari peperangan

Al Anfal
41
Ketentuan cara pembagian rampasan perang

Al Hajj
36 – 37
Mendekatkan diri kepada Allah dengan qurban
Juz yang kedua dari kitab tafsir tersebut memuat ayat ahkam sebagai berikut:
No
Surat
Ayat
Topik

An Nur
1 – 3
Had (Ketentuan hukum tentang) Zina

An Nur
3 – 5
Menuduh Zina

An Nur
6 – 10
Li’an (suami istri saling menuduh zina)

An Nur
23 – 26
Mennyebarkan cerita dusta

An Nur
27 – 30
Etika berkunjung dan bertamu

An Nur
30 – 31
Hijab dan pandangan mata

An Nur
32 – 34
Anjuran menikah

An Nur
58 -59
Etika berkunjung pada waktu privasi

An Nur
61
Makan minum di rumah kerabat

Luqman
13 – 15
Berbakti kepada kedua orang tua

Al Ahzab
1 – 5
Anak angkat menurut Islam dan Jahiliyah

Al Ahzab
6
Kewarisan kerabat rahim

Al Ahzab
49
Cerai sebelum digauli

Al Ahzab
50 -52
Tentang Istri-istri Nabi Saw

Al Ahzab
52 – 53
Etika perjamuan/resepsi pernikahan

Al Ahzab
56 – 58
Shalawat terhadap Nabi saw

Al Ahzab
59
Hijab wanita muslimah

Saba’
10 – 14
Hukum gambar dan patung

Shad
41 – 44
Hilah (melepaskan diri dari kesulitan hukum)

Muhammad
4 – 6
Perang dalam Islam

Muhammad
33 – 35
Meninggalkan amal kebaikan setelah dimulai

Al Hujurat
6 -10
Cheking kebenaran berita

Al Waqi’ah
75 – 87
Ketentuan memegang mushaf al Qur’an

Al Mujadilah
1 – 4
Dhihar dan kafaratnya

Al Mujadilah
11 – 13
Mengadukan sesuatu kepada Rasulullah saw

AL Mumtahanah
10 – 13
Menikah dengan orang Islam atau musyrik

Al Jumu’ah
9 – 11
Ketentuan shalat jum’at

Ath Thalaq
1 – 3
Ketentuan perceraian

Ath Thalaq
4 – 7
Ketentuan tentang masa iddah

AL Muzammil
1 – 10 :
Ketentuan membaca al Qur’an

Demikian tabel ayat-ayat ahkam dalam kitab tersebut, perlu di catat, topik tersebut hanyalah secara umum, tetapi secara lebih detail tentu saja kandungan ayat-ayat tersebut lebih luas dari topik yang disajikan.
D.    Situasi darurat membolehkan yang diharamkan.
Meskipun wilayah muharomat sempit, akan tetapi Islam bersikap keras terhadap yang diharamkan tersebut. Sehingga menutup semua pintu yang menghantarkan kepadanya baik dilakukan dengan terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan segala hal yang menjadi perantara datangnya haram di justifikasi haram juga. Akan tetapi Islam sangat lentur terhadap keterbatasan manusia sebagai obyek hukum, Islam juga tidak melalaikan kebutuhan-kebutuhan manusia, sehingga dalam konteks darurat syari’at membolehkan seorang muslim menikmati berbagai larangan demi menghilangkan kondisi darurat itu, dan memelihara dirinya dari kebinasaan.[8]
Karena itu dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 173, setelah menyebutkan makanan-makanan larangan berupa bangkai, darah, dan daging babi, Allah Swt berfirman:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§
Artinya:“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. Al-Baqarah:173)

Pengertian ini diulang-ulang pada empat surat dalam Al-Qur’an setiap kali menyebut makanan-makanan haram. Dari ayat-ayat tersebut dan yang senada dengannya, para ahl fiqih menetapkan sebuah prinsip penting yaitu,“kondisi darurat membuat yang terlarang menjadi boleh”
Jika kita perhatikan ayat al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 173 tersebut, member syarat kepada orang yang terpaksa, dengan “tidak sengaja mencari dan tidak pula melampaui batas”. Menurut Yusuf Qardhawi Ini ditafsirkan dengan “tidak sengaja menikmati dan tidak melampaui batas keterpaksaan”.[9] Sehingga mengindikasikan bahwa dibolehkannya menikmati perkara yang diharamkan setelah melakukan usaha yang keras dan jika betul-betul tidak ada jalan keluar lagi maka secara prinsip boleh melakukan sesuatu yang pada dasarnya dilarang. Dan inipun tidak semua Muharomat di analogikan demikian. Ada beberapa hokum yang tidak akan bisa diubah oleh kondisi terpaksa seperti apapun. Seperti keharaman zina, dalam keadaan apapun mutlak haram.
Dalam masalah khomr. Ada beberapa perbedaan sebagian menghukumi mutlak haram bahkan dalam kondisi seperti apapun, sehingga beranggapan bahwa andaikan khomr menjadi satu-satunya jalan keluar dari sebuah penyakit yang mendera sehingga bias mendatangkan kematian jika tidak segera diobati, lebih memilih meregang nyawa dari pada harus minum khomr. Sedang pendapat lain mengatakan bahwa khomr dalam keadaan darurat atau terpaksa bisa merubah keharamannya menjadi hukum boleh. Seperti yang terjadi di daerah kutub yang masyarakatnya menjadikan khomr sebagai konsumsi atas masyarakat dalam mempertahankan kehidupan di daerah yang sangat dingin tersebut. Dengan diperbolehkannya yang haram oleh Islam dalam kondisi darurat itu, tidak lain demi beradaptasi dengan jiwa Islam secara umum dan kaidahnya secara global, yakni jiwa kemudahan dan keringanan yang membebaskan umat dari berbagai belenggu dan beban, sebagaimana yang dibebankan kepada umat-umat sebelumnya.
Haram dalam Islam bersifat universal. Tidak ada sesuatu yang haram bagi orang ‘ajam tapi halal bagi orang arab, tidak ada sesuatu yang dilarang bagi orang yang berkulit hitam tetapi boleh bagi orang berkulit putih. Tidak ada sesuatu pembolehan, pemudahan atau dispensasi untuk suatu kalangan atau kelompok manusia tertentu, seingga bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya hara karena mereka itu bangsawan, pendeta, raja, atau berdarah biru. Bahkan tidak ada kekhususan bagi seorang muslim yang menjadikan sesuatuitu haram bagi orang lain dan halal bagi dirinya. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan semuanya, syari’at adalah pagar bagi semua orang, apa yang Allah halalkan dengan syari’at-Nya adalah Halal bagi seluruh manusia. Apa yang diharamkan-Nya adalah haram bagi semua sampai hari kiamat.


KESIMPULAN

Muharomat dibagi menjadi dua, Pertama, Muharromat Asholah lidzatih (yang diharamkan secara asli menurut zatnya). Kedua, Muharamat li ‘Aridh atau Li Ghoirihi (karena suatu hal yang baru). Keduanya tidak memiliki perbedaan secara subtansinya yaitu sama-sama haram atau dilarang.
Dalam keadaan darurat dan terpaksa hukum haram bisa menjadi boleh asalkan didahului dengan usaha keras dan sekuat tenaga untuk mendapatkan yang halal, supaya tidak begitu saja menikmati atau menggampangkan yang haram dengan alasan darurat.
Pada dasarnya segala sesuatu itu memiliki hukum Boleh selama tidak ada dalil atas pelarangannya. Dalam setiap muharomat ada tujuan atau hikmah tertentu, karena pelarangannya syari’at pada hukum tertentu sebetulnya juga demi martabat manusia itu sendiri. Seperti halnya hukum khomr dimana pelarangan khomr karena meskipun memiliki sisi kemanfa’atan tetapi unsur merusaknya lebih banyak sehingga demi menjaga keberlangsungan manusia diharamkanlah khomr.







DAFTAR PUSTAKA

Yasid, Abu, Nalar dan wahyu ; Interelasi dalam proses pembentukan syari’at, Erlangga, Jakarta, 2007.

Qardhawi, Yusuf, Halal haram dalam Islam, Cet.V, Terj: Wahid ahmadi dkk, Era Intermedia, Solo, 2011.

Wahab Khallaf, Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, Terj: Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina Utama, Semarang, 1994

Syafe’I, Rachmat Ilmu Ushul Fiqh, Cet IV, Pustaka Setia, Bandung, 2010.

Team FKI 2003, Esensi Pemikiran Mujtahid, Purna Siswa III Aliyah. PP. Lirboyo, Kediri, 2003.

www.Ayat-ayat Hukum, com




[1] Yusuf Qardhawi, Halal haram dalam Islam, Cet.V, Terj: Wahid ahmadi dkk, Era Intermedia, Solo, 2011, hal,.36.
[2] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Terj: Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina Utama, Semarang, 1994, hal,.163.
[3] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak

[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Terj: Moh Zuhri dan Ahmad Qarib, Dina Utama, Semarang, 1994, hal,.164-165
[5] Ibid
[6]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Cet IV, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hal,,.308.

[7]  Ayat-ayat Hukum. com

[8] Yusuf Qardhawi, Halal haram dalam Islam, Cet.V, Terj: Wahid ahmadi dkk, Era Intermedia, Solo, 2011, hal,.66-67.

[9] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar