Aswaja Secara Normatif
Secara Normatif, Ahlusunnah Wal Jama’ah adalah madzhab ke-Islam-an yang menjadi dasar Jam’iyah Nahdlotul ulama (NU). Sebagaimana termaktub dalam Qonun Asasi yang telah dirumuskan oleh Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari berdasarkan seleksi beliau terhadap madzahab-madzhab yang telah difomulasiakan pada zaman Daulah Abbasiyah. Yaittu :
1. Dalam Ilmu Teologi mengikuti dari salah satu dari : Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Hasan al-Maturudi
2. Dalam Syari’ah atau Fiqh mengikuti salah satu dari Imam empat : Abu Hanifah, Malik bin Annas, Muhammad bin Idris As-Syafi;I dan Ahmad bin Hanbal
3. Dalam Tasawuf atau Akhlaq mengkiuti salah satu dari dua Imam : Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid alGhozali
Normafitas Aswaja dalam Pemahaman PMII
a. Pergeseran makna Aswaja
Dalam konteks ke-Indonesia-an Jami’iyah Nahdlotul Ulama (NU) dan Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja) ibarat dua sisi mata uang. Ketika menyebut konsep NU, dalam konsep kita terbayang imam-imam besar sebagaimana dirumuskan oleh Faunding Father Hadroatus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi yaitu : “Dalam Ilmu Teologi mengikuti dari salah satu dari : Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Hasan al-Maturudi. Dalam Syari’ah atau Fiqh mengikuti salah satu dari Imam empat : Abu Hanifah, Malik bin Annas, Muhammad bin Idris As-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dalam Tasawuf atau Akhlaq mengkiuti salah satu dari dua Imam : Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid alGhozali”
Ada dua pola pemahaman kaum Muslim terhadap Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Pertama, yang memahami Aswaja identik dengan Islam dan doktrin pemurnian (purifikasi) ajaran Islam. Kedua, yang memahami Aswaja sebagi “Madzhab” saja. Baik pola pertama maupun kedua, masing-masing mempunyai kelemahan. Pola yang pertama seringkali mengklaim bahwa kebenaran hanya milik kelompoknya, sehingga kesan sektarianisme sulit dihindarkan. Pada level praksisnya, pengkafiran (takfir) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam realisasinya dengan non-muslim maupun dengan umat Islam tapi yang tidak satu aliran, sehingga bentuk kekerasan menjadi mudah dilakukan atas dasar teks agama.
Pada madzahab juga mmpunyai kecenderungan untuk menjadi institusi, dan karenanya ia menjadi kaku (jumud), karena madzahab mengandaikan kebakuan suatu pola ajaran, dan ahirnya itu semua menjadi ajaran atau doktrin yang terbakukan. Dipola nomor dua inilah mayoritas masyarakat NU memahaminya, bahkan rumusan definitife Aswaja tersebut dalam perkembangan yang hanya dipahami dalam konteks “berfikir” dan mengikuti apa saja yang telah dihasilkan para Ulama terdahulu (taklid) lebih jauh, pada dataran praksisnya Aswaja mengkrucut lagi menjadi madzhab fiqh Syafi’I saja dan menempatkan fiqh sebagai “kebenaran ortodoksi” yakni menundukan realitas dengan fiqh. Menyadari relitas yang demikian itu, maka Aswaja berusaha dipahami dan direfleksikan kembali dalam konteks aslinya, yang sesungguhnya sangat kritis, elektik dan analitis.
Memeng tiga pola panutan Qonun Asasi ini dalam prakteknya tidaklah sederhana dan cenderung problematik. Apabila ketika diruntut sejarah masing-masing ajaran disertai dengan varian-varian pemikiran para pengikutnya, semakin jelas terjadi kompeksitas gagasan bahkan terjadi pemilahan pada dua kutub yang saling bersebrangan. Realitas sejarah beserta varian-varian pemikiran madzhab yang tersebut diatas, membawa kita berkesimpulan bahwa Aswaja bukanlah sebuah doktrin yang kaku, baku dan linear yang dimana banyak sekali persoalan didalamnaya, sehingga dalam memahami Aswaja tidaklah cukup hanya produk pemikiran (madzhab) atau perkataan (qauli yang terdokumentasi dalam karya-karya) dari madzhab-madzhab diatas, akan tetapi juga metode (manhaj) berfikir mereka dalam menyusun pemikiranya yang disesuaikan dengan konteks yang mereka hadapi. Maka qoul-qoul madzhab terutama dalam kajian fiqh yang sudah terbukukan jika dalam konteks sekarang tidak relevan –bukan berarti salah- maka harus diinterpretasi ulang dan mengembalikanya ke Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian dari teks agama ini digali hukum-hukum baru dengan menggunakan metodologi imam madzhab tersebut (Madzhab Minhaj) agar sesuai dengan keadan sosial sekarang.
Ada empat ciri yang menonjol dalam memaknai Aswaja sebagai madzhab manhaj ini. Pertama, fiqh dihadirkan sebagai etika dan interpretasi sosial dan bukan sebagai hukum positif madzhab. Kedua, dalam hal metodologi madzhab tersebut didalamnya sudah mulai diperkenalkan metodologi pemikiran filosofis terutama dakam masalah sosial budaya. Ketiga, verifikasi mana yang terasuk ajaran pokok (usul) dan mana yang cabang (furu’). Keempat, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam kajian teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru.
Dengan model bermadzhab seperti ini diharapkan dapat memberikan spirit baru untuk keluar dari “tempurung sakral” masa lampau dan berani memunculkan pikiran-pikiran eksprementatif sosial yang kreatif dan orisinil. Dalam konteks ini kreasi-kreasi ulama masa lalu tetap tidak dinafikan dan diletakan dalam kerangka kooperatif. Namun karya tersebut jangan sampai menjadi belenggu pemikiran yang mematikan. Sehingga jalan masuk untuk melakukan terobosan baru dalam setting tranformasi sosial, ekonomi, politik maupun budaya menjadi lebar.
Peletakan fiqh seperti ini memunculkan problem metodologis yang sangat besar karena madzhab yang dianut masyarakat NU adalah madzhab Syafi’i. kendati dalam Qonun Asasi mengakui adanya empat madzhab, namun dalam wilayah praksisnya itu tidak secara otomatis dilakukan secara elektik karena ada rambu-rambu talfiq metodologi yang tidak mudah ditembus. Meski demikian dikalangan para kyai sepuh yang notabenya menguasai ilmu-ilmu agama metode ini sudah diterapkan. Hal ini bisa dilihat dari adanya Bahatsul Masail yang mencoba merumuskan pemikiran-pemikiran segar agar selalu menyesuaikan zaman.
Dan seiring perkembanganya zaman, madzhab manhaj ini pun dirasakan kurang menyentuh relaitas. Lagi-lagi, relaitas harus dijustifikasi dengan metodolgi agama yang sebatas pada ketiga pola Qonun Asasi yaitu, fiqh, teologi dan tasawuf, terutama dalam aspek fiqhnya. Pemahaman seperti ini tidak memadai untuk dijadikan pijakan gerak PMII. Sebab, pamahaman demikian cenderung menjadikan Aswaja sebagai sesuatu yang dalam konsepmetodologi menjadi beku dan tidak bisa diotak-atik lagi. Pemaknaanya hanya dibatasi pada metodologi ulama klasik saja. Karena secanggih apa pun metodologi, selalu tergantung pada waktu dan tempat (konteks) yang dihadapinya. Padahal untuk menjadi sebuah dasar pergerakan, Aswaja harus senantiasa flesibel dan terbuka untuk ditafsir ulang dan disesuaikan dengan konteks saat ini dan yang akan datang. Inilah yang dinamakan sebagai metodologi yang terbuka. Oleh karena itu, lagi-lagi interpretasi ulang terhadap konsep madzhab manhaj harus dilakukan.
Lebih jauh, implikasi yang dihasilkan dalam tatanan pola pikir pranata sosial yang dihadirkan dalam kehidupan orang-orang NU dianggap terlalu kaku sehinggaa kurang responsife terhadap tantangan dan tuntutan perkembanagn zaman. Khusunya dalam hal-hal yang terkait dengan persoalan hudud, hak asasi manusia , hokum public, gender, dan pandangn dengan non-muslim. Meski m manhaj madzhb telah dilakukan tetapi tetap saja rumusan Qonun Asasi khusunya fiqh tidak berani mendekati kecuali ulama-ulama yang dianggap mumpuni. Tegasnya, madzhab-madzhab yang bertumpu pada keilmuan fiqh yang berimplikasi pada cara pandang dan tatanan pranata sosial dalam masyarakat NU belum berani dan selalu menahan diri untuk bersentuhan dan berdialog langsung dengan ilmu-ilmu baru yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di dataran Eropa yang notabenya non-muslim, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat, dan lain sebagainya. Bahkan dari sesama muslim yang dianggap tidak satu madzahab, seperti, Mu’tazilah, Wahabi, Syiah, Khowarij, dan lain-lain, maupu para pemikir Islam kiri seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abduh, Muhammad Arkaun, Fazlurrahman, dan lain-lain, masyarakat NU masih eksklusif.
Maka keterbukaan terhadap kemungkinan kontak dan pertemuan langsung antara tradisi dan pemikiran keilmuan Manhaj Madzhab dengan keilmuan kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan pendekatan yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humanistik harus dilakukan. Sehingga terciptanya tatanan masyarakat yang berdimensi kemanusiaan yang tidak melulu berporos pada fiqh yang cenderung trasdental a sich. Ketika pola Ijtihad itu bertemu dan berdialog, maka teori, metode, dan pendekatan yang digunakan pun perlu dirubah. Jadi dalam rumusan fiqh dan kaidah usul fiqh dilakukan infilterisasi yang ketat sejauh mana ia sesuai dengan konteks zaman dan tidak bertentangan dengan paradigm gerakan dan pembaharuan yang progesif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar