Minggu, 27 November 2011

Aswaja sebagai manhajul Fikr dab Manhaj At-Taghayur Al-Ijtima’i (Part II)

                      Aswaja sebagai manhajul Fikr dab Manhaj At-Taghayur Al-Ijtima’i

Dari siilah maka kemudian PMII juga memaknai Aswaja sebagai Manhaj at-Taghoyur al-Ijtima’I (pola perubahan yang berdimensi sosial kemasyarakatan kemanusiaan) yang sesuai dengan nafas perjuangan Rasulullah yang dilanjutkan para sahabat penerusnya sampai diera kontemporer, yang mana metede ini tidak hanya bertumpu pada aspek fiqh dan usul fqh saja, namun memodifikasinya dengan keilmuan yang lain baik itu datangnya dari para pemikir muslin atau non-muslim dengan tetap mempetahankan dimensi historitas dari keilmuan fiqh dan barang tentu teologi dan tasawuf yang disusun beberapa abad tahun yang lalu untuk diajarkan terus menerus pada era sekaranag setelah permasalahan zaman terus berevolusi.
Kemudian, rangkaian historis-empiris-fleksibelitas epistimologi dan metodologi yang sesuai dengan politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim pada saat itu. Mulai dari Rasulullah sampai Manhja at-Taghotur al-Ijtima’i yang terbingkai dalam landasan Tawasuth (netral), Tawazun (proposional), Ta’adul (adil) dan Tasamuh (toleran), itulah yang oleh PMII dimaknai Aswaja sebagai Manhaj fikr yaitu metode berfikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan para tabi’in yang erat kaitanya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim saat itu.
Dari Manhajul fikr inilah muncul pemikiran-pemikiran keIslaman baik dibidang Aqidah, Syari’ah maupun Akhlak ataupun Tasawuf, dan tentu saja ilmu-ilmu Sosial Humaniora (kemanusiaan) walaupun beraneka ragam tetap dalam satu ruh. Inti yang menjadi ruh dalam Aswaja baik sebagi Manhajul fikr maupun Manhj at-Taghoyur al-Ijtima’i adalah sebagaimana yang disabdakan Rasululah : Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi (sesuatu yang berasal dariku –Rasul- dan para sahabatku).
Jadi, benang merah yang bisa ditarik dari Manhajul fikr para Imam dan para pemikir tersebut adalah sebuah metode berfikir yang “elektik” (mencoba mencari titik temu dari sekian perbedaan dengan pembacaan yang jeli, sampai melahirkan tawaran alternatife). Dan posisi mereka dalam dialektika Qonun Asasi tersebut, seperti, Mu’tazilah, Khowarij, Syiah, dan lainnya. Bahkan tentu metode ilmu-ilmu sosial humanistik yang datang dari barat, yang dalam hal ini fokus utamanya adalah sejauh mana metodologi-metodologi itu dapat diimplementasikan secara nyata dan memberi manfaat kepada manusia secara universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar