Jumat, 02 Maret 2012

Wajib Sekolah atau Wajib Belajar?



Dari sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan, hanya manusialah yang diberi kelebihan atas makhluk lainya. Dari kelebihan inilah manusia bisa dilihat sempurna dibandingkan dengan makhluk lainya seperti hewan, Meskipun hewan mempunyai insting sama seperti manusia, namun manusia mempunyai kelebihan dalam berfikir, mempunyai cipta, rasa, karsa dan perasaan serta harapan, sehingga dengan adanya kelebihan-kelebihan tersebut mausia mampu berkarya dengan baik.
Berbeda dengan hewan yang hanya mempunyai insting dan daya pikir yang cukup rendah, selain itu manusia juga mempunyai rasa yang mempunyai nilai plus, yakni manusia sebagai manusia yang mempunyai akal, moral dan bersifat relegius. Begitu juga dengan pendapat Robert Maynard H (tokoh pendidikan liberal), mengatakan bahwa manusia mempunyai nilai filosofis yang kuat, yakni bahwa manusia adalah makhluk-makhluk rasional, bermoral dan memiliki matra kerohanian, semua manusia memiliki kekuatan-kekuatan itu, dan semua manusia harus mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka itu seluas-luasnya dan setinggi-tingginya dengan pengetahuan.
Untuk memperoleh pengetahuan, manusia harus berupaya mengejar dan memenuhi kebutuhan keingintauan-nya dengan mencari jawaban-jawaban atas rasa keingintahua-nya. Proses memenuhi kebutuhan tersebut salah satunya adalah bagaimana ia mulai bertanya dari mana rasa ingin tau itu muncul? Dan bagaimana ia bisa mendapatkan jawaban ketidaktahuanya?, maka yang dilakukan manusia selanjutnya adalah menjalankan misinya dalam rangka mengubah pola pikir dari yang tidak tau menjadi tau dengan proses belajar (pendidikan).
Pendidikan adalah sebuah proses perubahan sikap dan tingkah laku sesorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan-pelatihan Dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, sebuah proses pendidikan menjadi senjata yang paling pokok guna menjamin segala perkembangan dan keberlansungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersangkutan. Oleh karenanya, pembangunan nasional disegala bidang harus segera dilaksanakan, khususnya dalam bidang pendidikan. Sebab, proses pendidikan merupakan wujud dari cita-cita bangsa Indonesia dalam keikutsertaanya mengupayakan proses mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, sejahtera, serta menjamin keberlangsungan hidup untuk mengembangkan diri baik secara jasmani maupun rohani.
Sebagai bentuk efek dari sistem negara yang menganut sistem demokrasi, rakyat Indonesia seharusnya mempunyai wewenang yang mutlak guna menjalani kehidupanya serta pencapaian pendidikan yang maksimal. Seluruh lapisan masyarakat secara wajib dan berhak memperoleh pendidikan yang lebih baik tanpa adanya keterpihakan pemerintah kepada masyarakat tertentu. Jika ini terjadi, maka akan muncul kelas sosial dalam masyarakat yang menyebabkan masyarakat tertentu tidak mendapatkan pendidikan yang layak, dan biasanya mereka kaum marginalah (terpinggirkan) yang merasakanya.
Jika saja pemerintah melaksanakan sistem demokrasi sebagai pandangan hidup (way of life) yang  sesungguhnya, maka akan terlihat bahwa pemerintahan itu akan berjalan dari rakyat (government of the people) oleh rakyat (government by people) dan untuk rakyat (government for people) yang dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan yang sejalan dengan pembagian hak dan kewajiban yang disepepakati, itu berarti bahwa pemerintahan yang menganut sistem demokrasi telah benar-benar dapat diaktualisasiakan. Dan oleh sebab itu pula, pemerintah berserta seluruh lapisan masyarakat hendaknya menjunjung tinggi seta melaksanakan kehidupan yang demokratis pula.
Penyelenggaraaan pendidikan nasional yang diyakini menjadi sebuah senjata untuk menjaga keberlansungan hidup harus dilakukan secara continue (berkelanjutan) dari satu generasi ke generasi selanjutnya juga hendaknya dilakukan secara demokratis pula, baik secara vertical maupun horizontal.
Proses pendidikan secara vertical adalah proses pendidikan yang mana pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan formal atau sekolah yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuanya. Adapun jenjang pendidikan yang seharusnya dapat dijangkau oleh setiap warga negara minimal adalah proses pendidikan Sekolah Dasar (SD) sedangkan yang paling tinggi adalah proses pendidikan Strata Tiga (S3).
Untuk melaksanakan proses pendidikan secara vertikal ini, seluruh warga negara harus memiliki segala kebutuhan yang menjadi pendukung guna pelaksanaan pendidikan tersebut. Disadari atau tidak, bahwa dalam setiap proses pendidikan, setiap warga negara harus mempunyai kemauan dan kemampuan di segala aspek, baik secara fisik, psikis, maupun finansial. Dan anehnya sulitnya warga negara mendapatkan pendidikan yang paling tinggi disebabkan karena gangguan finansial yang tidak mendukung, sehingga warga negara hanya mampu menjalani proses pendidikan sejauh kemampuan finansial saja.
Diakui atau tidak, bahwa jenjang proses pendidikan yang paling tinggi (S3) hanya bisa dilaksanakan oleh mereka yang mempunyai ekonomi yang lebih baik atau ekonomi atas (the upper clas) dan kolompok ekonomi menengah (the middle clas) sedangkan kelompok ekonomi yang lemah (the lower clas) dalam proses demokrasi pendidikan kemungkinan besar kurang menjangkau atau bahkan tidak terjangkau sama sekali dan terbukti bahwa belum semua anak di Indonesia mendapatkan hak pendidikan yang semestinya, terutama anak-anak jalanan, gelandangan dan pengemis (gepeng).
Pada tahun 2012 ini, pemerintah menyiapkan anggaran yang cukup besar guna menunjang kebutuhan pendidikan hususnya untuk siswa yang tidak mampu secara finansial (miskin). Seperti yang diterbitkan oleh Magelang Ekspres edisi Rabu 29 februari 2012 (hlm 10), bahwa BSM (beasiswa Siswa Miskin) tahun 2012 mencapai Rp 5,9 Triliun angka yang cukup besar bagi sejumlah orang, terutama masyarakat kecil. Jumlah  Rp 5,9 Triliun tersebut berasal dari APBN Rp 3,9 Triliun dan APBNP 2012 Rp 2 triliun.
Anggaran tersebut diperuntukan untuk seluruh peserta didik yang tidak mampu yang berada di seluruh Indonesia, baik peserta didik yang berproses di Pendidikan Dasar maupun Pendidikan menengah. Sedangkan jumlah  target sasaran beasiswa 2012 diperuntukan untuk :
  1. 3.502.945 Siswa Sekolah Dasar, Jumlah beasiswa Rp 450.000 pertahun
  2. 1,7 Siswa Sekolah Menengah Pertama, jumlah beasiswa Rp. 700.000 pertahun
  3. 1,1 Siswa Sekolah Menegah Atas/sekolah Menengah Kejuruan, Jumlah beasiswa 1 juta pertahun
Pemerintah juga hendaknya malakukan sapu bersih yang diperuntukan untuk anak-anak jalanan dan gelandangan serta pengemis juga anak-anak yang kurang mampu. Sapu bersih disini adalah, pemerintah hendaknya berupaya menghilangkan atau meninimalnya mengurangi anak-anak yang menjadi pengemis dan gelandangan dengan cara memberikan mereka bimbingan serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk merasakan pendidikan di kesekolah-sekolah. Dengan demikian, pemerintah telah memberikan kesan yang baik dalam berpartisipasi nyata dilapangan.
Meskipun demikian, pemerintah juga harus turut serta secara aktif dalam mengawasi jalanya pendidikan yang telah disiapkan. Sebab, tidak sedikit sekolah menjadi ajang untuk mencari nafkah belaka, sekolah dijadikan sebagai lahan bisnis bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab, seberapa pun besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pendidikan, jika masih ada pihak-pihak yang menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis, maka bisa dijamin yang akan terjadi bahwa proses pendidikan di Indonesia akan semakain carut marut.
Selanjutnya adalah pendidikan horizontal yang mana pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara, dengan tidak ada pengecualian untuk dapat menikmati pendidikan formal atau sekolah. Menurut proses pendidikan semacam ini, maka setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan pengajaran, ketrampilan dan pengetahuan.
Hal ini senada dengan bunyi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III pasal 6 bahwa “setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti Pendidikan agar memperoleh Pengertahuan, Kemampuan dan Ketrampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan Pengetahuan, Kemampuan dan Ketrampilan tamatan Pendidikan Dasar”
Berdasarkan UU diatas, maka diharapkan gairah warga negara Indonesia untuk bersekolah semakin menggeliat, ini terbukti dengan semakin banyaknya anak-anak yang mengikuti proses pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemrintah. Guna menjamin keberlangsungan proses pendidikan tersebut dan semakin banyaknya peserta didik di sekolah dasar, maka hendaknya pemerintah menyediakan tempat atau gedung yang memadai  guna menampung seluruh peserta didik dan untuk memudahkan dalam proses belajat mengajar.
Pada fase selaanjutnya, bahkan pemerintah mewajibkan pendidikan wajib belajar 6 (enam) tahun sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 Yang berbunyi “wajib belajar adalah pogram pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah”.
Menurut kebijakan undang-undang diatas, maka penyeenggara pendidikan sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah pusat yang selanjutnya diteruskan kepada pemerintah daerah. Pemerintah memangku semua beban yang seharusnya menjadi hak warga negara dalam menuntuk hak memperoleh pendidikan.
Tanggungjawab tersebut meliputi segala bidang yang berkaitan dengan pendidikan, baik secara fisik atau pun bentuk tanggungjawab lainya seperti kebutuhan dan fasilitas yang memadai disetiap sekolah yang ada diseluruh Indonesia. Lalu yang menjadi pertanyaan “apakah tanggungjawab tersebut sudah sepenuhnya dibuktikan oleh pemerintah?” atau tanggungjawab tersebut dibiarkan tak terusus dengan dalih dan jurus yang paling jitu atau bahkan mungkin pemerintah dengan sengaja membiarkan tangungjawab tersebut terbengkelai?
Lembaga pendidikan memang seringkali dijauhkan dari asumsi-asumsi yang terkesan negatife, ini dikarenakan adanya asumsi bahwa lembaga pendidikan sebagi satu-satunya media yang mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengantarkan anak bangsa atau peserta didik menuju manusia dewasa, memiliki moralitas yang baik sesuai denga kapasitas intelktual dan sosial yang mereka miliki. Lalu, seberapa tepat dan benarkah asumsi-asumsi tersebut? Mengingat banyaknya kasus korupsi yang terjadi dinegara kita, terutama di lembaga pendidikan yang menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2003 Departemen Pendidikan Nasional merupakan Departemen terkorup setelah departemen Agama.
Ironisnya, menurut Indonesian Corruption Watch mengatakan , kasus korupsi dalam dunia pendidikan Indonesia menjalar keseluruh akar-akarnya, dimulai dari pihak dinas, sekolah, kepala sekolah bahkan guru pun ikut andil dalam jama’ah korupsi di dunia pendidikan. Sekolah yang seharusnya menjunjung tinggi niali-nilai kejujuran justru malah mempertontonkan praktik korupsi kepada para siswanya.
Sebut saja Gayus Tambunan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan A3 yang memperoleh gaji kurang lebih 3 juta perbulan, dalam tabunganya bisa mencapai milyaran rupiah. Sangat tidak masuk akal bila pegawai dengan gaji 3 juta pebulan bisa membangun rumah bak Istana raja dengan nominal rupiah yang sangat besar, belum lagi ia mampu memenuhi “kebutuhan” liburanya keluar negeri samapai berkali-kali.
Dengan demikian, pemerintah seharusnya selain memberikan kecukupan untuk menunjang pendidikan, pemerintah juga memberikan kontrol yang tepat dan benar tanpa ada rasa kepemilikan kepentingan dan tujuan terhadap pribadi, atau mungkin ada benarnya kata Robert Hoffman yang mengatakan “Negara (pemerintah) selalu menjadi lembaga yang mempunayai kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentngan, pandangan-pandangan, dan tujuan-tujuan tersendiri?”
Idealnya, pemerintah harus mempunyai banyak membangun sekolah yang berkualitas, dengan mengerakan sekolah yang mempunyai basis pendidikan ber-karakter misalnya, supaya dapat menjadikan lulusan yang berkualitas juga tentunya. Jadi secara logis, pemerintah selayaknya harus memprioritaskan masalah-masalah kuantitas dan kualitas pendidikan untuk ditangani sekaligus. Namun demikian, pemeritah Indonesia agaknya teralu memaksa keadaan sehingga masalah kualitas pendidikan agak terpojokan dibanding dengan masalah kuantitas pendidiakan yang ada.
Wajib belajar enam tahun atau yang setara dengan lulusan Sekolah Dasar, oleh pemerintah dirasa cukup sukses, oleh karena itu wajib belajar yang semula enam tahun ditambah menjadi wajib belajar sembilan tahun atau setara dengan lulusan SLTP (Sekolah Lanjutatan Tingkat Pertama). Kerena dirasa sangat penting, maka pemerintah pun membuat undang-undang yang berkaitan dengan wajib belajar sembilan tahun. Undang-undang yang beraitan dengan wajib belajar Sembilan tahun antara lain :
  1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Penddikan Nasional Bab V pasal 14 (2), berbunyi “warga negara berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar, atau pendidikan yang setara sampai tamat”
  2. dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Penddikan Nasional pasal 13 (1) alinea pertama, berbunyi “pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat”
  3. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Penddikan Nasional Bab IV pasal 6, bebrbunyi “ setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti Pendidikan Dasar”
Dengan adanya perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan nasional tersebut, pogram wajib belajar enam tahun kini telah ditingkatkan menjadi wajib belajar Sembilan tahun yang pada awalnya hanya wajib tamat sampai dengan tingkat Sekolah Dasar (SD) sekarang wajib belajar sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Dengan demikian, bahwa SLTP termasuk pogram tingkatan dasar, atau dengan kata lain, bahwa peserta didik yang belum mencapai kelulusan (tamat) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), maka peserta didik tersebut belum memenuhi wajib belajar tingkat dasar, meskipun sudah tamat di tingkat Sekolah Dasar (SD).
Dalam setiap satuan pendidikan formal pada jenjang penddikan dasar dan menengah, “guru” merupakan sentral pelaksana kurikulum. Guru yang harus lebih dahulu mengenal, mengerti dan memahami serta melaksanakan hal-hal yang tertuang dalam kurikulum. Tanpa guru, kurikulum itu hanyalah benda mati yang tiada berarti.
Guru merupakan saka tunggal yang berfungsi sebagai penegak jalanya proses belajar mengajar. Guru menjadi satu-satunya penggerak dan pelaksana kurikulum yang telah ditentukan pemerintah dan sekolah menurut kebutuhan siswa-siswinya, hal ini yang menjadikan peran guru sangat urgen dalam setiap langkah kepribadianya.
Ditangan gurulah, banyak bermunculan tokoh-tokoh baru dalam segala bidang pengetahuan, ini tidak lain berkat dedikasi dan pengabdian guru serta kapiwaianya secara rapi dalam mendidik siswanya. Selain itu, guru yang berkecimpung dalam dunia penddikan juga mempunyai tugas ganda, yakni tugas sebagai abdi negara dengan melaksanakan tugas-tugas pemerintah melalui kegiatan belajar mengajar guna mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Guru juga mempunyai tugas tugas lain, yakni guru sebagai abdi masyarakat, mereka para guru dituntut untuk berperan aktif mengubah pola pikir masyarakat dari kekangan-kekangan yang membelenggu menuju perubahan pembebasan yang membawa masyarakat tersebut berpola pikir maju dan menatap masa depan dengan penuh optimis. Kedua tugas inilah yang menurut Ahmad D. Marimba menjadikan profesi guru menjadi sebuah pekerjaan yang berat namun luhur (mulia).
Disisi lain, guru juga dituntut untuk menjalankan segala tugasnya secara professional dengan selalu mendahulukan prioritas kualitas dibanding kuantitas. Kualitas guru dapat diketahui dari tingkat profesionalitasnya dalam merealisasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas  mengajar para peserta didik.
Sesuai degan Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 (1) yang berbunyi “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” yang juga diterangkan melalui undang undang Bab III Pasal 7, Bab IV  Pasal 14-20, Bab VII Pasal 30, dan Bab XI Pasal 40.
Bila guru benar-benar menjalankan fungsi dan tugas sebagi pendidik yang berkualitas, maka bisa dipastikan, bahwa pendidikan yang berawal dari sekolah ini akan membawa peserta didik dalam dunia yang cakrawala yang lebih luas tanpa adanya kekangan pengetahuan. Dampak dari guru yang berkualitas dalam mendidik adalah, perkembangan secara psikis dan intelektual peserta didik akan muncul dengan sendirinya.
Berbicara soal tugas guru yang harus profesional, maka tidak akan pernah habis dan kunjung usai bilamana belum menyentuh tentang kesejahteraan guru. Setidaknya. Dengan adanya pemberdayaan guru dan tercukupinya segala kebutuhan guru, maka memungkinkan para guru untuk mnjalankan roda tugas dan fungsinya secara professional pula, yakni dengan guru selalu berusaha secara maksimal mengupayakan terwujudnya tugas dan fungsi guru secara akademis (profesi) maupun perealisaian tugas dan fungsi guru secara non-profesi (birokrasi).
Guru adalah manusia biasa yang dalam sehari-hari membutuhkan keperluan yang menunjang dan layak untuk dapat hidup serta mempertahankanya secara wajar dan terhormat, untuk dapat hidup secara wajar dan demi terpenuhinya segala kebutuhanya, maka guru membutuhkan pendapatan atau pengahsilan yang memadai pula. Dengan adanya pendapatan (income) tersebut, guru berharap dapat hidup dengan sejahtera sebagaimana layaknya manusia dan dengan profesi yang lain.
Meskipun pengabdian dan kesejahteraan guru merupakan dua masalah yang tidak bisa terpisahkan, namun nampaknya kedua masalah tersebut merupakan masalah yang cukup lama bahkan menyejarah dan agak terlihat delematik. Padahal, secara nurani keinginan guru antara pengabdian dan kesejahteraan tidak ada yang mendominir. Terkadang banyak guru yang mengeluhkan semakin banyaknya kebutuhan untuk mencukupi hidupnya secara layak, namun pendapatan yang didapat terkadang jauh dari apa yang diharapkan. Begitu juga sebaliknya, guru juga tidak ingin segala kebutuhanya tercukupi namun meninggalkan tugas dan kewajibanya yang teramat mulia dengan meninggalkan tugas dan kewajibanya mengabdi kepada negara dan masyarakat.
Guru membutuhkan kondisi yang lebih baik, sehingga kondisi tersebut memungkinkan guru menjalankan tugasnya secra kreatif guna mengoptimalkan pengabdian kepada negara dan masyarakat. Upaya mengoptimalkan usaha tersebut tidak mungkin tidak terlaksana manakala guru mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang memadai, dengan tidak menganggap sederahana guru yang menjadi yang hanya menjadi “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” melainkan memberikan kesejahteraan yang memadai sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan.
Dimasa sekarang, guru tidak hanya menjalankan misi luhurnya untuk menjadi seorang pahlawan yang selalu menjaga idialismenya. Namun, disisi lain bahwa hampir semua orang yang berprofesi guru (meski tidak semua) berharap bahwa profesi ini cukup membanggakan selain juga juga menjadi lumbung pendapatan yang memadai guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Tinnginya kesejahteraan guru diharapkan dapat mendorong para guru untuk selalu maksimal dalam menunaikan tugas dan tangungjawabnya sebagai pendidik.
Ini terbukti dengan semakin banyaknya PT (Perguruan Tinggi) yang menajadikan salah satu fakultasnya mengampu program keguruan. Sebut saja di wilayah Jawa Tengah, dalam setiap tahunya hampir me-wisuda 1000 lebih jumlah mahasiswa calon guru dari seluruh universitas yang ada di Jawa Tengah.
Hal ini mengindikasikan bahwa, selain kemauan dan kemampuan masuk di fakultas keguruan, bisa saja selain niat baiknya untuk menjadi pendidik, para mahasiswa kelak berharap hidup dengan layak dan tercukupi dengan menjadi guru. [Alfan]