Selasa, 27 Desember 2011

GENDER (Part I)

GENDER
Tujuan dan Target :
  1. Peserta Memahami atas Konsep Gender
  2. Peserta Mengetahui Implikasi Biologis terhadap Ketidakadilan Gender
  3. Peserta Mengetahui Historitas Gerakan Perempuan
  4. Peserta Memahami Pola Gerakan Perempuan
  5. Terbentuknya Kesadaran Kritis atas Realitas Ketidakadilan Gender untuk Selanjutnya Melakukan Perubahan Gerakan Sosial
Pokok Bahasan :
  1. Definisi Gender
  2. Perbedaan Gender dan Seks
  3. Gender dan Problem Ketidakadilan
  4. Sensifitas Gender
  5. Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia dan Pola Gerakanya

  1. Definisi Gender
Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu, “Genus”, berarti type atau jenis. Gender adalah sifat atau perilaku yang diletakkan pada laki-laki dan perenpuan yang terbentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka gender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) atau tempatnya. Menurut John M. Echots dan Hasan Sadily dalam kamus Inggris-indonesia, kata Gender berasal dari bahasa Inggris, Gender berarti Janis kelamin. Sedangkan dalam Women Studies Encyclopedia, gender lebih difahami sebagai konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristk emosional antara laki-laki dan perenpuan yang berkembang dalam masyarakat.

  1. Perbedaan Gender dan Seks
Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat, sedangkan Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya, laki-laki mempunyai penis dan bisa memproduksi sperma, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa hamil, melahirkan dan menyusui.

  1. Gender dan Problem Ketidakadilan
Sejarah perbedaan gender, perbedaan laki-laki dan perempuan yang dibentuk karena sosial, yang dimulai sejak manusia lahir terjadi melalui proses yang panjang. Perbedaan tersebut dikontruksi secara sosial atau kultur, dibentuk, disosialisasikan dan diperkuat melalui ajaran keagamaan ataupun Negara (Julius Cleves Mosse, 203). Bahkan menurut Mansour Faqih perbedaan gender mampu menciptakan idiologi gender yang diwarnai oleh pandangan bahwa laki-laki lebih tinggi diatas perempuan, yang juga diperkukuh melalui agama dan tradisi. Idiologi gender memberikan dampak yang segnifikan terhadap perkembangan agama. Dampak terburuk dari pelegemetasian ini adalah diyakinya bahwa perbedaan gender merupakan ketentuan Tuhan atau takdir, yang pada ahirnya tidak mudah bagi masyarakat untuk membedakan antara ketentuan Tuhan yang sesungguhnya dengan kontruksi sosial. Idiologi gender telah membentuk budaya yang patriarkhal di masyarakat dan menciptakan (male domibated cultur) budaya yang didominasi oleh laki-laki.
Pebedaan gender tidak akan menjadi perhatian dan menjadi bahan pertimbangan kalau saja tidak membawa dampak yang merugikan bagi kehidupan manusia, terutama perempuan. Konsep gender menjadi penting karena adanya perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender dalam masyarakat dan bahkan dalam kebijakan pemerintah.
Ketidakadilan gender menurut Mansour Faqih muncul diberbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dan bernegara, bahkan beragama diseluruh lini dan wilayah. Bentuk ketidakadilan gender antara lain : Marjinalisasi, Subordinasi, Beban Ganda dan Kekerasan terhadap perempuan. Marjinalisasi perempuan bisa terjadi pada wilayah Negara, keyakinan, masyarakat, agama (institusi dan tafsiran) organisasi atau tempat berkerja, keluarga atau diri sendiri.
Subordinasi, sebagaimana Marjinalisasi terjadi baik diwilayah domestik atau publik. Kontruksi gender yang menganggap perempuan emosional, tidak rasional, dan lemah, melahirkan sifat yang menempatkan perempuan pada posisi yang yang lebih rendah dari mitranya yakni laki-laki.
Stereotip adalah pelabelan negatif yang direkatkan pada kelompok tetentu, yang dalam hal ini perempuan, samadengan marjinalisasi dan subordinasi, stereotip dapat dilihat dalam setiap wilayah kehidupan.
Bentuk ketidakadilan yang tidak kalah penting adalah beban ganda perempuan. Perempuan yang dipandang tekun dan rajin berkerja dianggap lebih tepat menangani pekerjaan rumah tangga, yang pada ahirnya disebut sebagai jenis pekerjaan perempuan, sementara laki-laki yang dipandang kuat dan rasional menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah. Ketika perempuan yang juga pada kenyataanya berkerja diluar rumah dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian keluarga, pada saat yang sama dia dibebani dengan pekerjaan kultural yang diwilayah domestik, yang tentu saja mengakibatkan beban ganda.
Bentuk ketidakadilan yang terahir adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan adalah serangan atau pemukulan terhadap fisik atau mental psikilogis seseorang. Pelabelan perempuan sebagi sosok yang lemah, rendah dan tidak berdaya banyak menimbulkan fenomena kekerasan. Bentuk kekerasan tersebut antara lain : pemerkosaan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan, tindakan pemukulan dan serangan fisik dalam rumah tangga, kekerasan dalam bentuk pelacuran, pornografi, dan pelecehan seksual. Kekerasan yang didebabkan oleh bias gender tersebut disebut dengan “gender related violence” atau “kekerasan yang terkait dengan gender

  1. Sensifitas Gender
Sensifitas artinya kepekaan, sehingga makna dari sensifitas gender adalah kepekaan terhadap persoalan, perbedaan, ketimpangan, atau ketidakadilan yang disebabkan oleh pandangan atau idiologi gender yang ada disekitar kita. Menurut Inayah Rohmaniyah kepekaan merupakan sebuah “skill” atau kemampuan yang dapat ditimbulkan, dilatih, dan dibudayakan. Sensifitas gender sangat diperlukan dan penting dalam upaya membangun dan memperjuangkan hak-hak dan kewajiban perempuan yang ada.

  1. Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia dan Pola Gerakanya
Sejak dulu sudah ada orang-orang yang memberikan perhatian pada nasib wanita, yang dianggap diperlakukan dengan tidak adil dalam masyarakat maupun dalam keluarga dibanding pria. Tetapi dimanapun masih dirasakan adanya ketimpangan dalam pengakuan dan penghargaan terhadap wanita dari pada pria. Pada abad 18 di Prancis muncul gerakan perempuan, gerakan itu didorong oleh idiologi pencerahan (Aufklarung) yang lebih mendewakan akal atau rasio. Semua manusia. Pria dan wanita pada dasarnya adalah makhluk rasional maka yang penting adalah adanya pendidikan untuk meningkatkan kecerdasanya. Kecerdasan dianggap syarat untuk membangun masyarakat yang sejahtera, mereka menuntut hak wanita sejajar dengan pria (Equality) dibidang politik, kesempatan memperoleh pendidikan, perbaikan dalam hukum perkawinan dan lain sebagainya. Revolusi tahun 1789 tidak banyak memberi keuntungan kepada wanita, bahkan perkumpulan-pekumpulan wanita dilarang dan dalam hukum perdata yang diatur oleh pemimpin-pemimpin revolusi dan disahkan oleh Napoleon I menunjukan rendahnya kedudukan wanita.
Sejarah gerakan wanita di Indonesia menunjukan kemiripan dengan gerakan wanita di negara-negara yang pernah mengalami penjajahan oleh negara-negara Barat. Di Indonesia, proses situ sudah menjelma pada abad ke-19 (pra kemerdekaan) dalam bentuk peperangan dibanyak daerah dibawah pimpinan raja atau tokoh-tokoh. Dalam peperangan tersebut dikenal beberapa tokoh-tokoh wanita antara lain : Martha Tiahahu, Cut Meutia, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang. Bentuk prlawanan tersebut bersifat konfrontatif.
Pada abad 19 berawl dari Politik Etis Belanda mempunyai inisiatif untuk membalas budi atas tanah jajahanya degan cara memberikan pendidikan kepada rakyat Indonesia. Akan tetapi, kesempatan memperoleh pendidikan hanya terbatas pada golongan-golongan tertentu saja. Kartini yang karena pergaulanya dan korespondensinya dengan orang-orang Belanda, memperkuat pemikiranya bahwa pendidikan sangat penting untuk kemajuan bangsa.
Pada saat itu politik etis juga tidak menguntungkan bagi perkembangan dan kemajuan perempuan. Ternyata dari program edukasi Belanda yang mampu mengakses pendidikan hanyalah kaum elit, penguasa dan priyai. Hal ini dipengaruhi oleh kuatnya feodalisme dan budaya patriaki yang diyakini oleh kaum yang berkuasa pada saat itu. Lagi-lagi perempuan tidak mendapat kesempatan sedikitpun untuk mengakses pendidikan.
Berangkat dari kondisi seperti itulah tokoh perempuan Kartini tergugah nuraninya untuk melakukan penyadaran, perlawanan dan perubahan sitem yang berlaku, yaitu dengan menuntut akses yang sama bagi perempuan. Selain itu juga mendirikan sekolah-sekolah ketrampilan bagi kaum perempuan pada saat itu, meskipun banyak mendapatkan perlawanan dari kaum penjajah. Semenjak itu banyak bermunculan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia, diantaranya adalah :
1.      Pada tahun 1912-1928 berdiri organisasi perempuan yang bernama Putri Murdika. Organisasi ini menuntut akses pendidikan yang lebih adil diantara laki-laki dan perempuan serta menuntut keadilan posisi serta peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
2.      Pada ahir tahun 1920an pola gerakan wanita lebih diorientasikan pada wilayah politik. Isu yang mereka bawa adalah menuntut partisipasi perempuan dalam kancah politik dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.
3.      Tahun 1928-1935 muncul organisasi Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang merupakan bentukan dari hasil Kongres Perempuan Indonesia yang diadakan pada tanggal 22 Desember. Corak gerakan yang ada cenderung sosialis-nasionalis. Mereka mengangkat isu-isu seputar perlindungan wanita dan ank-anak dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, menuntut pendidikan bagi anak-anak, dan kedudukan wanita dalam perkawinan.
4.      Pasca kemerdekaan (1945-1946) corak serta karakteristik gerakan perempuan masih berkutat pada wilayah sosial (terutama perbaikan ansib perempuan) dan perjuangan melawan penjajah. Ini diperkuat dengan munculnya WANI (Wanita Indonesia) dan KOWANI (kumpulan dari beberapa organisasi perempuan). Isu ysng diangkat menuntut dan mempertahankan keadilan sosial.

Kemudian pada sekitar tahun 1950-1965 organisasi perempuan terjun dipergerakan nasional. Mereka konfrontatif dengan penjajah. Dalam artian, mereka langsung terjun digaris perlawanan melawan penjajah. Salah satu gerakan perempuan tersebut adalah GERWIS, organisasi ini berdiri tahu 1950 dengan isu orientasi pendidikan yang lebih terhadap perempuan, dan menyediakan fasilitas penitipan anak. Proses selanjutnya GERWIS, pada tahun 1954 berubah nama menjadi GERWANI. Orientasi gerakan berubah kearah politik. Isu yang dibawa pun lebih banyak menuntut pertisipasi perempuan di dalam parlemen, menuntut suara perempuan diparlemen, pembentukan organisasi perempuan, dan menuntut hukum perkawinan. Ternyata dalam prosesnya GERWANI mampu menunjukan eksistensinya dengan keberhasilanya mampu memobilisir masa (oraganisasi-organisasi perempuan) dan satu-satunya organisasi perempuan terbesar waktu itu dengan jumlah banyaknya anggota (kurang lebih satu juta masa). Dan GERWANI mampu menjadi pelopor gerakan perempuan dibidang politik. Sampai kemudian muncullah masa demokrasi terpimpin (pergantian pucuk kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru), yang berimplikasi pada penghancuran gerakan perempuan (GERWANI) pada tahun 1965. Sejak itulah gerakan perempuan tidak pernah terdengar lagi gaungnya. Gerakan perempuan seperti hilang ditelan masa. Kerena sejak demokrasi terpimpin diambil alih, gerakan perempuan ditarik, dikoordinasikan dan disatukan kewilayah domestik. Disisni ada semacam domistikisasi gerakan. Orientasi gerakan perempuan diarahkan ke wilayah-wilayah domestik. Walaupun telah berdiri organisai-organisasi seperti IDHATA (Ikatan Dharma Wanita), akan tetapi fungsi dari organisasi tersebut hanya sebuah wadah perkumpulan para perempuan-perempuan atau istri-istri dari para kepala desa, lurah, polisi, pejabat. Wilayah garapanya pun hanya pada masalah keperempuanan yang sifatnya domestic, tidak pernah sama sekali menyoroti masalah sosial kemasyarakatan ataupun politik. Akan tetapi masih ada sisa-sisa dari gerakan perempuan (KOWANI) yang berhasil meng-goal-kan UUD perkawinan dan UUD ketenagakerjaan (memperjuangkan nasib buruh wanita) pada tahun 1974. Kemudian baru pada reformasi (1998), sentralnya pada masa kepemimpinan Gus Dur (sampai sekarang), banyak munculnya LSM-LSM dan PSW yang diberi hak untuk berkreasi dan mengeluarkan pendapat, terutama bagi organisasi perempuan yang selama ini hak bicara dan berpolotiknya dipasung. Orientasi LSM perempuan dan LSW (Pusat Studi Wanita) lebih mengarah pada program pendampingan masyarakat (realitas sosial). Dan ada sebuah oganisasi yang intens menyikapi serta mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, yaitu KPI (Koalisi Perempuan Internasional).                            (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar