Sabtu, 02 Juni 2012

Eksklufisme Dalam Prespektif Agama (Kajian Pluralitas Dalam Agama)

PENDAHULUAN
Isu keragaman dan kebhinekaan di Indonesia belakangan ini kembali menjadi tema yang hangat untuk diperbincangkan. Munculnya beberapa aliran yang dianggap MUI sesat, semakin menyemarakkan polemik ini di tengah publik. Diskursusnya pun semakin melebar, dari klaim kebenaran satu agama atau aliran tertentu, ke hak-hak sipil-politik sebagai warga negara, mereka yang disesatkan. Eksklusifisme beragama bisa menjadikan kita terjebak dan menganggap kelompok atau agama lain sebagai sesat, bahkan ancaman. Dan itu berlaku bagi setiap kelompok dan agama, baik antar agama resmi yang diakui pemerintah, bahkan terhadap agama lokal sekalipun. Lahirnya primordialisme seperti ini akan memicu segregasi, bahkan konflik sosial politik yang berimplikasi pada kekerasan antara umat beragama, yang celakanya juga seringkali mengatasnamakan agama.
Padahal kita semua mafhum, bahwa agama apapun itu pasti menolak segala macam sikap kebencian, balas dendam, pembunuhan, pemukulan, pemaksaan, dan juga kerusuhan. Sebaliknya semua agama itu juga mengembangkan dan menganjurkan sikap kebaikan, solidaritas, tolenransi, bahkan persaudaraan universal tanpa melihat asal-usul suku dan budaya, ras, warna kulit, maupun gender. Agama tanpa sifat di atas tentu saja hanya akan sampai di tahapan ritus dan pemujaan belaka
Agama diturunkan  ke bumi untuk menciptakan kedamaian. Dalam Al-Qur’an Allah SWT, menegaskan, “Wama arsalnaka illa rahmatan lil‘alamin”,[1] bahwa kata Allah, tiadalah Kami mengutus engkau ya Muhammad, kecuali agar menjadi rahmat bagi sekalian alam. Ayat ini sangat populer dan banyak dirujuk, walau dalam prakteknya tidak semua umat Islam mampu melakukannya. Tidak ada agama yang diturunkan ke bumi untuk membuat onar, menebarkan ketakutan, pembunuhan, dan melakukan pengrusakan. Namun patutu disayangkan, bahwa ada pandangan yang menganggap bahwa agama-nya lah yang paling benar, dan memandang yang berbeda sebagai sesat, bahkan musuh. Pandangan dan keyakinan seperti ini bisa memicu terjadinya konflik yang berdarah, pembunuhan atas nama agama, dan juga penghancuran rumah Tuhan. Jika hal seperti ini dibenarkan, maka hilanglah hakekat kesejatian agama.[2]


PEMBAHASAN
A.    Eksklufisme
Manusia yang dikodratkan sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk membentuk koloni atau kelompok-kelompok. Hal ini telah berlangsung bahkan sejak zaman manusia purba hingga sekarang. Tujuan manusia membentuk kelompok-kelompok adalah sebagai wadah perwujudan dari interaksi sosial dan untuk membantu satu dan yang lainnya.
Inilah masalah yang sedang kita hadapi, di mana banyaknya kelompok yang terbentuk justru memisahkan umat manusia ke dalam perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut tak jarang membuat manusia sulit untuk menerima manusia lain yang berbeda darinya. Sikap ekslusivisme, pada akhirnya, menjadi sikap yang secara tak langsung tumbuh dari pengelompokkan manusia tersebut.
Eksklusivisme sendiri berarti sikap untuk mengkhususkan atau mengeksklusifkan kelompok atau golongan tertentu. Sering kali sebuah kelompok menjadi sangat eksklusif sehingga sulit sekali dimasuki oleh anggota kelompok lain. Bahkan, tak jarang sebuah kelompok menindas kelompok-kelompok lain yang dianggapnya lebih rendah dari kelompoknya. Jika ini sudah terjadi, sikap fanatis dan diskriminatif akan ikut menyertai.
Dalam proses pembentukan Indonesia menjadi sebuah negara, tidak terlepas dari campur tangan kerjasama antar suku yang saat itu berasal dari berbagai kerajaan nusantara. Bangsa Indonnesia bukan hanya terdiri satu atau dua suku akan tetapi ratusan suku. Selain suku, terdapat juga berbagai ragam jenis kepercayaan layaknya agama. Hal ini menunjukkan ciri khas yang menjadikan Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk dibandingkan dengan bangsa lain.
Apabila ditelusuri sejarah perjuangan, khususnya ketika perumusan Pembukaan UDD’45 dilakukan, maka akan melihat bagaimana para perumus itu sangat menyadari keberagaman orang-orang yang membentuk Indonesia, baik dari sisi etnisitas, daerah asal, dan agama. Tetapi mereka semua bisa punya sebuah mimpi dan cita-cita yang sama. Di sisi lain, ada orang-orang yang mengakui keberadaan ketuhanan yang Maha Kuasa sebagai sebuah keyakinan yang membentuk cara berpikir dan bersikap. Dari pemahaman ini kita tahu, bahwa apa pun agamanya, pasti akan bertemu pada suatu kepercayaan di mana sebagai ciptaan Tuhan, manusia adalah mahluk yang sangat bermartabat dan mulia. Karena itu mereka menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sebuah sila di dalam Pancasila, di samping sila Perikemanusiaan.
Konflik horizontal seperti SARA menjadi momok yang menakutkan karena tidak jarang konflik ini berujung pada kekerasan dan mengancam ketentraman. Selain itu, tindakan dari beberapa golongan ekstrimis penganut agama menjadi ancaman tersendiri bagi kerukunan masyarakat Indonesia. Masih segar dalam ingatan yaitu adanya pembakaran pesantren Syi’ah di Sampang tempo lalu, pengusiran jemaat Ahmadiyah dan penutupan masjidnya, penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, penutupan gereja GKI Yasmin di Bogor, penusukan pendeta HKBP di Bekasi, tindakan kekerasan oleh FPI terhadap kelompok lain yang melakukan maksiat ketika bulan puasa atau lebih dari itu penyerangan terhadap warga yang berjualan makanan saat bulan puasa, dan masih banyak lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa isu agama adalah permalahan yang penting untuk diselesaikan guna menumbuhkan kondisi integritas bangsa
B.     Pluralitas dalam Agama
Pluralitas berasal dari bahasa Inggris, plurality yang berarti banyak dan beraneka ragam.[3] Keberagaman aeka yang yang teklah diciptakan Tuhan untuk seluruh penghuni bumi. Kebutuhan lain menjadikan  makhluk hidup selalu bergantung dengn makhluk lain yang menyebabkan adanya ekosistem yang saling mendukung dan pada ahirnya sederatan dan sekelompok makhluk membuat ikatan tertentu dan menjadikan komunitasnya sebagai wujud kebersamaan dalam sebuah kelompok-kelompok tertentu. Allah berfirman “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dab bersuku-suku supaya kamu saing kenal-mengenal”.[4]
Pluralisme mengindikasikan pemaknaan bahwa semua agama adalah jalan-jalan (ways) menuju kepada keselamatan-keselamatan (salvations) yakni adanya pengakuan bahwa satu sama lain berbeda dan bahkan bisa bertentangan, tetapi semuanya saling memerlukan dan mengisi serta melengkapi atau komplementer,[5] hal ini yang menyebabkan adanya kalim kebenaran akan pendapatnya sendiri (claim truth).
Realitas keragaman manusia dan masyarakat tidak  adan hanya pada tingkah laku dan budaya atau tradisi saja tetapi juga dalm beragama.[6] Di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan bahwa sisa-sisa primodial seperti factor keturunan, kedaerahan dan sosial budaya lainya menjadi sangat berperan bagi realitas kehidupan plural dalam masyarakat terasuk masyarakat Islam.[7]
Sebagai idiologi dan gerakan politik, pluralism pernah diteladankan Rasulullah saw kepada sahabat Umar dan diteruskan oleg Kholifah selanjutnya. Sejarah mencatat bahwa kedatangan Islam di Spanyol telah mengahiri politik monoreligi secra paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemeritah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab para pemeluk tiga Agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dapat hidup secara berdampingan dan rukun.[8]
Secara normative, teologis, dan filoofis, Ibnu Arabi telah mengungkapkan bagaimana pluralitas itu terjadi pada manusia dalam beragama,[9] antara lain, Pertama. Pluralitas Syari’at (religious diversity) disebabkan oleh pluralitas relasi Tuhan (devine relationship, nasb al-Ilahiyah) ini mnenunjukan danya hubungan antara manusia dan Tuhan, dimana Tuhan mengutus Nabi (rasul) tiak hanya satu, dan kebenaran mutlak adalah milik Tuhan, dengan adanya beberapa Nabi yang diutus, tentunga dengan mebawa bahasa masing-masing, antar Nabi satu dengan yang lain berbeda bahasa, hal ini juag menyebabkan  syari’at yang dibawa oleh para Nabi juga beraneka raga,[10].
Kedua, Pluralitas relasi Tuhan disebabkan oleh pluralitas keadaan (states, haal). Pluralitas nomor dua ini menunjukan bahwa betapa Maha Bijaksanya Tuhan sebagai pensipta, ini terihat bahwa Tuhan mengutus para Nabinya dalam berbagai ragam keadaan. Berbagai ragam keadaan ini yang menyebabkan adanya relasi Tuhan dengan keadaan.[11] Ketiga, Pluralitas keadaan dsebabkan oleh pluraitas masa atau musim (times, al-waqt). Sudah barabg tentu ini merupakan hukum yang ditetapkan Tuhan bahwa seiring berjalanya waktu, maka kondisi alam pun berubah an dalam setiap waktu ada musim.
Keempat, Pluralitas masa-waktu (musim) disebabkan oleh pluaralitas gerakan (movement, harakat al-aflaq). Gerakan yang dimaksudkan disini adalah gerakan perputaran waktu hingga terjadi perputaran waktu dari hari, ke minggu, bulan hingga tahun dan rentetan gerakan waktu selanjutnya( addadas sinnina walhisab).[12] Kelima, Pluralitas gerakan disebabkan oleh pluralitas arah atau perhatian Tuhan (atteivenesses, tajwihat al-Ilahiyat). Gerakan yang perankan oleh alam angkasa tak pernah luput dari perhatian Tuhan hingga tercipta waktu dan keadaan yang berbeda-beda. Ini sejalan dengan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa masing-masing berredar sesuai porosnya.[13]
Keenam, Pluralitas perhatian Tuhan disebabkan oleh pluralitas tujuan Tuhan (goals, al-qoshd). Semua gerakan yang tak luput dari perhatian Tuhan iniah yang mempunyai indikasi bahwa keseluruhan keadaan dan waktu yang bergulir semuanya dirancang dan ditentkan Tuhan sesuai dengan tujuan-Nya, mengenai tujuan Tuhan, hanya Tuhan yang tau akan kehendak selanjutnya.
Ketujuh, pluralitas tujuan disebabkan oleh pluralitas penampkan diri Tuhan (self disclousures, takliyat al-Ilahiyat). Semua ketentuan Tuhan terhadap seluruh makhluknya yang menghuni alam semesta merupakan satu bentuk manifestasi diri uhan di dunia.[14] Kedelapan, Pluralitas penampakan diri Tuhan disebabkan oleh Pluralitas syari’at (revealed religion).[15] Setiap Syari’at (agama) dan agama merupakan jalan menuju Tuhan dan setiap jalan yang akan dilalui manusia tentunya berbeda (beranekaragam) terlebih pemahaman dan pandangan setipa manusia akan syar’at (agama) itu berbeda antara satu dengan lainya.
Dengan sikap seperti itu, tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap kemungkinan kesalahan orang lain atau lingkungan disekitar, setiap manusia yang beragama harus bersikap kritis dan melakukan koreksi terhadap segal bentuk patoogi sosial. Dalam doktrin Islam, sikap korektif ini disebut amar makruf nahi munkar.[16]
C.     Analiis dalam Plularitas Agama.
Keajemukan yang terdapat di Indonesia tidak dapat dipungkiri, segala macam keberagaman hendaknya menjadikan saling menyatuna masyarakat untuk selalu menjaga keutuhan, terlebih dalam soal agama. Keberagaman dan banyaknya perbedaan agama ini mengharuskan kepada setiap pemeluknya memegang strategi-strategi yang memungkinkan tidak menimbulkan perpecahan. Strategi tersebut antara lain. Pertama. Menjadikan agama sebagai kekuatan moral (moral force) perilaku yag murni relegius lebih diinginkan daripada formalisasi agama.[17] Kedua, setiap umat harus belajar dari sejarah yang mendorong masyarakat plural yang integrative, yang menjadikan plural sebagai idiologi dalam kehidupan konkret bagi setipa peeluk agam dan inilah yang menjadikan sikap bijak bagi seluruh umat.
Ketiga, meninggalkan penilaian agama dengn bentuk standar ganda (double standart), yakni menggunakan kebenaran bagi dirinya dengan menggunakan kebenaran ideal dan normative, sedangkan mengunakan kebenaran bagi orang lain dengan merujuk pada nilai sifat realistis dan historis. Keempat, bagian dari menjaga pularilatas dalam beragama adalah dengan melakukan dialog atar umat beraga, dialg yang diharapkan lebih mengerucut pada universalitas kemanusiaan, agar tidak terjadi tidak terjadi adu argumentasi yang pada ahirnya menandakan adanya yang menang dan kalah
Kelima, adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi setiap manusia untuk memeluk dan menjalankan ibadahnya sesuai keyakinanya masing-masing. Dengan adanya saling menghargai keberagaman diharapkan setiap pemeluk semakin mendalami keyakinan rasa keagamaan, dengan  begitu makin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan, seandainya tidak demikian, agama tidak mengangkat harkat keluhuran martabat manusia.
PENUTUP
Masyarakat harus mengakui bahwa setiap manusia terdiri atas bermacam-macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupanya sendiri-sendiri. Manusia harus menerma kenyataan keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karnanya, setipa pemeluk  sangat tidak dianjurkan akan adanya pemahaman bahwa setiap individu ataupun golongan tertentu tidak memiliki sikap dan sifat plural.
Dengan demikian, bahwa pluralitas agama merupakan suatu kenyataan aksiomatis yang tak terbantahkan yang berifat universal. Pluralism bukan hanya berarti kemajemukan atau keberagaman (actual plurality) yang justru akan meninggalkan kesan pramentasiyang berlebihan. Pluralism juga bukan hanya sekdar “kebaikan negative” sebagai lawan dari fanatisme, akan tetapi pluralism seharusnya dimaknai sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaan (genuine engagement of diversity within the bonds of civility)


 
DAFTRAR PUSTAKA
Alquran dan terjemah. Kudus. Indonesia
Budhy Munawar Rachman. Ensiklopedia Nurcholis Majid. Mizan, Jakarta. 2006.
Dr. H. Dadang Kahmad, M. Si. Sosiologi Agama. Remaja Rosdakarya. Bandung 2002. Hal 172-173
Hendar Riyadi, Melampui Pluralisme. Etika Al-Qur’an tentang Keragaman Agama. R.M. Books. Jakarta. 2007 Hal 1
Keragaman dan Ekseklufisme dalam Beragama. Republika. Dipostkan 09 April 2011
Khadziq. Islam dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama dan Masyarakat. Teras. Yogyakarta. 2009.
Mundzarin Yusuf dkk. Islam dan Budaya Lokal. Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2005.
Pluralisme, Inkluvisme, Toleransi, dan Tujuan Hidup. Suara Pembaharuan. Diposkan 04 Mei 2006.


[1] . Al Quran dan terjemah. Surat Al Anbiya. Ayat 107
[2] . Keragaman dan Ekseklufisme dalam Beragama. Republika. Dipostkan 09 April 2011
[3] . Mundzarin Yusuf dkk. Islam dan Budaya Lokal. Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2005. Hal 30
[4] . Q.S. Al-Hujarat Ayat 13
[5] . Pluralisme, Inkluvisme, Toleransi, dan tujuan Hidup. Suara Pembaharuan. Diposkan 04 Mei 2006.
[6] . Khadziq. Islam dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama dan Masyarakat. Teras. Yogyakarta. 2009. Hal 215
[7] .Budhy Munawar Rachman. Ensiklopedia Nurcholis Majid. Mizan, Jakarta. 2006. Hal 2707
[8] . Dr. H. Dadang Kahmad, M. Si. Sosiologi Agama. Remaja Rosdakarya. Bandung 2002. Hal 172-173
[9] . Hendar Riyadi, Melampui Pluralisme. Etika Al-Qur’an tentang Keragaman Agama. R.M. Books. Jakarta. 2007 Hal 1
[10] . Lihat juga dalam Q.S Al-Maidah ayat 48, Q.S. Al-Hajj Ayat 67-69
[11] . Q.S. Ar-Rahman Ayat 29-31
[12] . Q.S. Al-Iara’
[13] . Q.S. Al-Anbiya’ ayat 33
[14] . Kemahaluasan Tuhan tidak menuntut suatu pengulangan dalam eksistensi (wujud) karenanya penampaka diri Tuhan pun terjadi secra beragam bukan berulang.
[15] . Khadziq, op. cit. Hal 217
[16] . Dr. H. Dadang Kahmad, M. Si. Op.cit. Hal 172.
[17] . Q.S Al-Kafirun ayat 6 “Bagimu Agmamu, Bagiku Agamaku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar