PENDAHULUAN
Isu
keragaman dan kebhinekaan di Indonesia belakangan ini kembali menjadi tema yang
hangat untuk diperbincangkan. Munculnya beberapa aliran yang dianggap MUI
sesat, semakin menyemarakkan polemik ini di tengah publik. Diskursusnya pun
semakin melebar, dari klaim kebenaran satu agama atau aliran tertentu, ke
hak-hak sipil-politik sebagai warga negara, mereka yang disesatkan.
Eksklusifisme beragama bisa menjadikan kita terjebak dan menganggap kelompok
atau agama lain sebagai sesat, bahkan ancaman. Dan itu berlaku bagi setiap
kelompok dan agama, baik antar agama resmi yang diakui pemerintah, bahkan
terhadap agama lokal sekalipun. Lahirnya primordialisme seperti ini akan memicu
segregasi, bahkan konflik sosial politik yang berimplikasi pada kekerasan
antara umat beragama, yang celakanya juga seringkali mengatasnamakan agama.
Padahal
kita semua mafhum, bahwa agama apapun itu pasti menolak segala macam sikap
kebencian, balas dendam, pembunuhan, pemukulan, pemaksaan, dan juga kerusuhan.
Sebaliknya semua agama itu juga mengembangkan dan menganjurkan sikap kebaikan,
solidaritas, tolenransi, bahkan persaudaraan universal tanpa melihat asal-usul
suku dan budaya, ras, warna kulit, maupun gender. Agama tanpa sifat di atas
tentu saja hanya akan sampai di tahapan ritus dan pemujaan belaka
Agama
diturunkan ke bumi untuk menciptakan
kedamaian. Dalam Al-Qur’an Allah SWT, menegaskan, “Wama arsalnaka illa rahmatan
lil‘alamin”,[1]
bahwa kata Allah, tiadalah Kami mengutus engkau ya Muhammad, kecuali agar
menjadi rahmat bagi sekalian alam. Ayat ini sangat populer dan banyak dirujuk,
walau dalam prakteknya tidak semua umat Islam mampu melakukannya. Tidak ada
agama yang diturunkan ke bumi untuk membuat onar, menebarkan ketakutan,
pembunuhan, dan melakukan pengrusakan. Namun patutu disayangkan, bahwa ada
pandangan yang menganggap bahwa agama-nya lah yang paling benar, dan memandang
yang berbeda sebagai sesat, bahkan musuh. Pandangan dan keyakinan seperti ini
bisa memicu terjadinya konflik yang berdarah, pembunuhan atas nama agama, dan
juga penghancuran rumah Tuhan. Jika hal seperti ini dibenarkan, maka hilanglah
hakekat kesejatian agama.[2]
PEMBAHASAN
A.
Eksklufisme
Manusia
yang dikodratkan sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk membentuk
koloni atau kelompok-kelompok. Hal ini telah berlangsung bahkan sejak zaman
manusia purba hingga sekarang. Tujuan manusia membentuk kelompok-kelompok
adalah sebagai wadah perwujudan dari interaksi sosial dan untuk membantu satu
dan yang lainnya.
Inilah
masalah yang sedang kita hadapi, di mana banyaknya kelompok yang terbentuk
justru memisahkan umat manusia ke dalam perbedaan-perbedaan.
Perbedaan-perbedaan tersebut tak jarang membuat manusia sulit untuk menerima
manusia lain yang berbeda darinya. Sikap ekslusivisme, pada akhirnya, menjadi
sikap yang secara tak langsung tumbuh dari pengelompokkan manusia tersebut.
Eksklusivisme
sendiri berarti sikap untuk mengkhususkan
atau mengeksklusifkan kelompok atau golongan tertentu. Sering kali sebuah
kelompok menjadi sangat eksklusif sehingga sulit sekali dimasuki oleh anggota
kelompok lain. Bahkan, tak jarang sebuah kelompok menindas kelompok-kelompok
lain yang dianggapnya lebih rendah dari kelompoknya. Jika ini sudah terjadi,
sikap fanatis dan diskriminatif akan ikut menyertai.
Dalam
proses pembentukan Indonesia menjadi sebuah negara, tidak terlepas dari campur
tangan kerjasama antar suku yang saat itu berasal dari berbagai kerajaan
nusantara. Bangsa Indonnesia bukan hanya terdiri satu atau dua suku akan tetapi
ratusan suku. Selain suku, terdapat juga berbagai ragam jenis kepercayaan
layaknya agama. Hal ini menunjukkan ciri khas yang menjadikan Indonesia dikenal
sebagai bangsa majemuk dibandingkan dengan bangsa lain.
Apabila
ditelusuri sejarah perjuangan, khususnya ketika perumusan Pembukaan UDD’45
dilakukan, maka akan melihat bagaimana para perumus itu sangat menyadari
keberagaman orang-orang yang membentuk Indonesia, baik dari sisi etnisitas,
daerah asal, dan agama. Tetapi mereka semua bisa punya sebuah mimpi dan
cita-cita yang sama. Di sisi lain, ada orang-orang yang mengakui keberadaan
ketuhanan yang Maha Kuasa sebagai sebuah keyakinan yang membentuk cara berpikir
dan bersikap. Dari pemahaman ini kita tahu, bahwa apa pun agamanya, pasti akan
bertemu pada suatu kepercayaan di mana sebagai ciptaan Tuhan, manusia adalah
mahluk yang sangat bermartabat dan mulia. Karena itu mereka menempatkan
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sebuah sila di dalam Pancasila, di samping sila
Perikemanusiaan.
Konflik
horizontal seperti SARA menjadi momok yang menakutkan karena tidak jarang
konflik ini berujung pada kekerasan dan mengancam ketentraman. Selain itu,
tindakan dari beberapa golongan ekstrimis penganut agama menjadi ancaman
tersendiri bagi kerukunan masyarakat Indonesia. Masih segar dalam ingatan yaitu
adanya pembakaran pesantren Syi’ah di Sampang tempo lalu, pengusiran jemaat
Ahmadiyah dan penutupan masjidnya, penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di
Cikeusik, penutupan gereja GKI Yasmin di Bogor, penusukan pendeta HKBP di
Bekasi, tindakan kekerasan oleh FPI terhadap kelompok lain yang melakukan
maksiat ketika bulan puasa atau lebih dari itu penyerangan terhadap warga yang
berjualan makanan saat bulan puasa, dan masih banyak lainnya. Hal itu
menunjukkan bahwa isu agama adalah permalahan yang penting untuk diselesaikan
guna menumbuhkan kondisi integritas bangsa
B. Pluralitas dalam Agama
Pluralitas
berasal dari bahasa Inggris, plurality
yang berarti banyak dan beraneka ragam.[3]
Keberagaman aeka yang yang teklah diciptakan Tuhan untuk seluruh penghuni bumi.
Kebutuhan lain menjadikan makhluk hidup
selalu bergantung dengn makhluk lain yang menyebabkan adanya ekosistem yang
saling mendukung dan pada ahirnya sederatan dan sekelompok makhluk membuat
ikatan tertentu dan menjadikan komunitasnya sebagai wujud kebersamaan dalam
sebuah kelompok-kelompok tertentu. Allah berfirman “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dab bersuku-suku supaya kamu
saing kenal-mengenal”.[4]
Pluralisme
mengindikasikan pemaknaan bahwa semua agama adalah jalan-jalan (ways) menuju kepada
keselamatan-keselamatan (salvations)
yakni adanya pengakuan bahwa satu sama lain berbeda dan bahkan bisa
bertentangan, tetapi semuanya saling memerlukan dan mengisi serta melengkapi
atau komplementer,[5]
hal ini yang menyebabkan adanya kalim kebenaran akan pendapatnya sendiri (claim truth).
Realitas
keragaman manusia dan masyarakat tidak
adan hanya pada tingkah laku dan budaya atau tradisi saja tetapi juga
dalm beragama.[6] Di
sisi lain, ada pendapat yang mengatakan bahwa sisa-sisa primodial seperti
factor keturunan, kedaerahan dan sosial budaya lainya menjadi sangat berperan
bagi realitas kehidupan plural dalam masyarakat terasuk masyarakat Islam.[7]
Sebagai
idiologi dan gerakan politik, pluralism pernah diteladankan Rasulullah saw
kepada sahabat Umar dan diteruskan oleg Kholifah selanjutnya. Sejarah mencatat
bahwa kedatangan Islam di Spanyol telah mengahiri politik monoreligi secra
paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemeritah Islam yang kemudian berkuasa selama
500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab para
pemeluk tiga Agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dapat hidup secara berdampingan
dan rukun.[8]
Secara
normative, teologis, dan filoofis, Ibnu Arabi telah mengungkapkan bagaimana
pluralitas itu terjadi pada manusia dalam beragama,[9]
antara lain, Pertama. Pluralitas
Syari’at (religious diversity) disebabkan
oleh pluralitas relasi Tuhan (devine
relationship, nasb al-Ilahiyah) ini mnenunjukan danya hubungan antara
manusia dan Tuhan, dimana Tuhan mengutus Nabi (rasul) tiak hanya satu, dan
kebenaran mutlak adalah milik Tuhan, dengan adanya beberapa Nabi yang diutus,
tentunga dengan mebawa bahasa masing-masing, antar Nabi satu dengan yang lain
berbeda bahasa, hal ini juag menyebabkan
syari’at yang dibawa oleh para Nabi juga beraneka raga,[10].
Kedua,
Pluralitas relasi Tuhan disebabkan oleh pluralitas keadaan (states, haal). Pluralitas nomor dua ini
menunjukan bahwa betapa Maha Bijaksanya Tuhan sebagai pensipta, ini terihat
bahwa Tuhan mengutus para Nabinya dalam berbagai ragam keadaan. Berbagai ragam
keadaan ini yang menyebabkan adanya relasi Tuhan dengan keadaan.[11]
Ketiga, Pluralitas keadaan dsebabkan
oleh pluraitas masa atau musim (times,
al-waqt). Sudah barabg tentu ini merupakan hukum yang ditetapkan Tuhan
bahwa seiring berjalanya waktu, maka kondisi alam pun berubah an dalam setiap
waktu ada musim.
Keempat,
Pluralitas masa-waktu (musim) disebabkan oleh pluaralitas gerakan (movement, harakat al-aflaq). Gerakan
yang dimaksudkan disini adalah gerakan perputaran waktu hingga terjadi
perputaran waktu dari hari, ke minggu, bulan hingga tahun dan rentetan gerakan
waktu selanjutnya( addadas sinnina
walhisab).[12] Kelima, Pluralitas gerakan disebabkan
oleh pluralitas arah atau perhatian Tuhan (atteivenesses,
tajwihat al-Ilahiyat). Gerakan yang perankan oleh alam angkasa tak pernah
luput dari perhatian Tuhan hingga tercipta waktu dan keadaan yang berbeda-beda.
Ini sejalan dengan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa masing-masing berredar
sesuai porosnya.[13]
Keenam,
Pluralitas perhatian Tuhan disebabkan oleh pluralitas tujuan Tuhan (goals, al-qoshd). Semua gerakan yang tak
luput dari perhatian Tuhan iniah yang mempunyai indikasi bahwa keseluruhan
keadaan dan waktu yang bergulir semuanya dirancang dan ditentkan Tuhan sesuai
dengan tujuan-Nya, mengenai tujuan Tuhan, hanya Tuhan yang tau akan kehendak selanjutnya.
Ketujuh,
pluralitas tujuan disebabkan oleh pluralitas penampkan diri Tuhan (self disclousures, takliyat al-Ilahiyat).
Semua ketentuan Tuhan terhadap seluruh makhluknya yang menghuni alam semesta
merupakan satu bentuk manifestasi diri uhan di dunia.[14]
Kedelapan, Pluralitas penampakan diri
Tuhan disebabkan oleh Pluralitas syari’at (revealed
religion).[15]
Setiap Syari’at (agama) dan agama merupakan jalan menuju Tuhan dan setiap jalan
yang akan dilalui manusia tentunya berbeda (beranekaragam) terlebih pemahaman
dan pandangan setipa manusia akan syar’at (agama) itu berbeda antara satu
dengan lainya.
Dengan
sikap seperti itu, tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap kemungkinan
kesalahan orang lain atau lingkungan disekitar, setiap manusia yang beragama
harus bersikap kritis dan melakukan koreksi terhadap segal bentuk patoogi
sosial. Dalam doktrin Islam, sikap korektif ini disebut amar makruf nahi munkar.[16]
C. Analiis
dalam Plularitas Agama.
Keajemukan
yang terdapat di Indonesia tidak dapat dipungkiri, segala macam keberagaman
hendaknya menjadikan saling menyatuna masyarakat untuk selalu menjaga keutuhan,
terlebih dalam soal agama. Keberagaman dan banyaknya perbedaan agama ini
mengharuskan kepada setiap pemeluknya memegang strategi-strategi yang
memungkinkan tidak menimbulkan perpecahan. Strategi tersebut antara lain. Pertama. Menjadikan agama sebagai kekuatan
moral (moral force) perilaku yag
murni relegius lebih diinginkan daripada formalisasi agama.[17]
Kedua, setiap umat harus belajar dari
sejarah yang mendorong masyarakat plural yang integrative, yang menjadikan
plural sebagai idiologi dalam kehidupan konkret bagi setipa peeluk agam dan
inilah yang menjadikan sikap bijak bagi seluruh umat.
Ketiga,
meninggalkan penilaian agama dengn bentuk standar ganda (double standart), yakni menggunakan kebenaran bagi dirinya dengan
menggunakan kebenaran ideal dan normative, sedangkan mengunakan kebenaran bagi
orang lain dengan merujuk pada nilai sifat realistis dan historis. Keempat, bagian dari menjaga pularilatas
dalam beragama adalah dengan melakukan dialog atar umat beraga, dialg yang
diharapkan lebih mengerucut pada universalitas kemanusiaan, agar tidak terjadi
tidak terjadi adu argumentasi yang pada ahirnya menandakan adanya yang menang
dan kalah
Kelima,
adanya
kebebasan dan kemerdekaan bagi setiap manusia untuk memeluk dan menjalankan
ibadahnya sesuai keyakinanya masing-masing. Dengan adanya saling menghargai
keberagaman diharapkan setiap pemeluk semakin mendalami keyakinan rasa
keagamaan, dengan begitu makin mendalam
pula rasa keadilan dan kemanusiaan, seandainya tidak demikian, agama tidak
mengangkat harkat keluhuran martabat manusia.
PENUTUP
Masyarakat harus
mengakui bahwa setiap manusia terdiri atas bermacam-macam komunitas yang
memiliki orientasi kehidupanya sendiri-sendiri. Manusia harus menerma kenyataan
keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing komunitas
dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karnanya, setipa pemeluk sangat tidak dianjurkan akan adanya pemahaman
bahwa setiap individu ataupun golongan tertentu tidak memiliki sikap dan sifat
plural.
Dengan demikian,
bahwa pluralitas agama merupakan suatu kenyataan aksiomatis yang tak
terbantahkan yang berifat universal. Pluralism bukan hanya berarti kemajemukan
atau keberagaman (actual plurality)
yang justru akan meninggalkan kesan pramentasiyang berlebihan. Pluralism juga
bukan hanya sekdar “kebaikan negative” sebagai lawan dari fanatisme, akan
tetapi pluralism seharusnya dimaknai sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaan (genuine engagement
of diversity within the bonds of civility)
DAFTRAR PUSTAKA
Alquran
dan terjemah. Kudus. Indonesia
Budhy
Munawar Rachman. Ensiklopedia Nurcholis
Majid. Mizan, Jakarta. 2006.
Dr.
H. Dadang Kahmad, M. Si. Sosiologi Agama. Remaja Rosdakarya. Bandung 2002. Hal
172-173
Hendar
Riyadi, Melampui Pluralisme. Etika
Al-Qur’an tentang Keragaman Agama. R.M. Books. Jakarta. 2007 Hal 1
Keragaman dan Ekseklufisme dalam
Beragama. Republika. Dipostkan 09 April 2011
Khadziq.
Islam dan Budaya Lokal, Belajar Memahami
Realitas Agama dan Masyarakat. Teras. Yogyakarta. 2009.
Mundzarin
Yusuf dkk. Islam dan Budaya Lokal.
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2005.
Pluralisme, Inkluvisme, Toleransi,
dan Tujuan Hidup. Suara Pembaharuan. Diposkan 04 Mei
2006.
[1]
. Al Quran dan terjemah. Surat Al Anbiya.
Ayat 107
[2]
. Keragaman dan Ekseklufisme dalam
Beragama. Republika. Dipostkan 09 April 2011
[3] .
Mundzarin Yusuf dkk. Islam dan Budaya
Lokal. Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2005. Hal 30
[4]
. Q.S. Al-Hujarat Ayat 13
[5]
. Pluralisme, Inkluvisme, Toleransi, dan
tujuan Hidup. Suara Pembaharuan. Diposkan 04 Mei 2006.
[6] .
Khadziq. Islam dan Budaya Lokal, Belajar
Memahami Realitas Agama dan Masyarakat. Teras. Yogyakarta. 2009. Hal 215
[7] .Budhy
Munawar Rachman. Ensiklopedia Nurcholis
Majid. Mizan, Jakarta. 2006. Hal 2707
[8] . Dr. H.
Dadang Kahmad, M. Si. Sosiologi Agama. Remaja Rosdakarya. Bandung 2002. Hal
172-173
[9] . Hendar
Riyadi, Melampui Pluralisme. Etika
Al-Qur’an tentang Keragaman Agama. R.M. Books. Jakarta. 2007 Hal 1
[10]
. Lihat juga dalam Q.S Al-Maidah ayat
48, Q.S. Al-Hajj Ayat 67-69
[11]
. Q.S. Ar-Rahman Ayat 29-31
[12]
. Q.S. Al-Iara’
[13]
. Q.S. Al-Anbiya’ ayat 33
[14]
. Kemahaluasan Tuhan tidak menuntut suatu pengulangan dalam eksistensi (wujud)
karenanya penampaka diri Tuhan pun terjadi secra beragam bukan berulang.
[15]
. Khadziq, op. cit. Hal 217
[16]
. Dr. H. Dadang Kahmad, M. Si. Op.cit.
Hal 172.
[17]
. Q.S Al-Kafirun ayat 6 “Bagimu Agmamu,
Bagiku Agamaku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar